NYERI

 

Nyeri adalah gejala tersering yang menyebabkan pasien menemui dokter. Nyeri merupakan akibat psikologis dari trauma jaringan yang berperan sebagai fungsi proteksi yang penting. Tapi kadang-kadang nyeri dapat menjadi penyakit bila berlangsung lama walau jaringan tersebut telah sembuh. Kaitan antara nyeri dan kerusakan jaringan mungkin menjadi tidak konstan. Nyeri tidak hanya dikenali sebagai pengalaman sensorik, tapi juga sebagai fenomena yang disertai oleh respon afektif dan kognitif.


Aspek penting dari nyeri adalah nosiseptif, sebuah peristiwa elektrokimiawi yang melibatkan aktivasi jalur saraf tertentu sebagai respon terhadap stimulus yang potensial menimbulkan kerusakan jaringan. Secara klinis, derajat nosiseptif menjadi tanda dari kerusakan jaringan. Sebaliknya, nyeri adalah sebuah pengalaman subyektif yang mungkin melibatkan aktivasi jalur saraf aferen atau komponen lainnya, seperti pemrosesan somatosensori atau faktor psikososial.


Rujukan

  1. Raja SN, Dougherty PM. Pain and the neurophysiology of somatosensory processing. In : Benzon HT, Raja SN, Borsook D, Molloy RE, Strichartz G, eds. Essentials of Pain Medicine and Regional Anesthesia. New York:Churchill Livingstone.1999;2-11.

  2. International Association for the Study of Pain. Pain.1979;6:249.


Berdasarkan rekomendasi JCAHO dan American Pain Society (APS), nyeri adalah tanda vital yang kelima, berarti nyeri harus dinilai bersamaan dengan penilaian nadi, tekanan darah, temperatur dan pernafasan. Nyeri yang tidak teratasi harus dianggap sebagai '"red flag", suatu indikator potensial morbiditas.


Rujukan

  1. Joint Commission on the Accreditation of Healthcare Organizations. Jt Comm Perspect.1999;19(5):6-8.

  2. American Pain Society Quality Improvement Committee. JAMA.1995;1847-1880.

Sistem somatosensori adalah suatu sistem dengan proses fisiologis dimana neuron sensorik diaktifkan oleh stimulus fisik, sampai menimbulkan persepsi nyeri atau tekanan. Nosisepsi, meliputi aktivasi jalur saraf khusus sebagai respon terhadap stimulus yang dapat merusak jaringan, sering ditandai dengan adanya kerusakan jaringan. Jalur saraf pada sistem somatosensori yang berespon terhadap stimulus nosiseptif dan stimulus lainnya menunjukkan plasticity yang luar biasa, mengalami modulasi pada tingkatan perifer, spinal dan supraspinal.


Di perifer, terdapat 3 kelas serat aferen primer yang dapat diaktifkan oleh berbagai stimulus pada kulit, yaitu serat Ab, Ad dan serat C. Serat Ab secara normal tidak menghantarkan signal nyeri, kecuali sentuhan lembut, tekanan dan hair movement. Neuron nosiseptif (Ad dan serat C) pada nosiseptor perifer berespon terhadap stimulus panas, dingin, mekanik dan kimiawi.Sistem somatosensori mengkode informasi berdasarkan intensitas, lokasi, durasi dari stimulus noxious, dan modulasi pada tingkat perifer menimbulkan hiperalgesia atau alodinia.


Serat nosiseptif perifer berakhir pada struktur yang sangat teratur pada dorsal horn di spinal cord. Beberapa input pada dorsal horn berasal dari berbagai tempat di batang otak (seperti jalur desenden yang berasal dari periaqueductal gray matter) memodulasi signal perifer seperti output dari sel-sel intrinsik. Spinal axon sampai pada traktus asenden, yang berakhir pada hipotalamus, medulla dan midbrain. Modulasi eksitatori (asenden) dan inhibitori (desenden) pada pemrosesan somatosensori terjadi pada midrain. Serat asenden lainnya berakhir pada region medial dan lateral talamus. Sehingga, modulasi spinal melibatkan kombinasi sistem eksitatori dan inhibitori, sejalan dengan pelepasan spinal neurotransmitter, seperti enkephalin endogen dan endorphine.


Modulasi spinal tipe yang lain disebut sensitisasi sentral, terjadi pada keadaan tertentu dan menunjukkan neuronal plasticity dari sistem nosiseptif. Sensitisasi sentral melibatkan perubahan pada kapasitas transmisi pain-signaling system dan mungkin memberi kemungkinan pendekatan baru dalam terapi analgesik.


Modulasi supraspinal belum diketahui dengan jelas, tapi modulasi asenden dari dorsal raphe nucleus batang otak diketahui mempengaruhi signaling neuron talamus.


Rujukan

  1. Raja SN, Dougherty PM. Pain and neurophysiology of somatosensory processing. In: Wall PD, Melzack R, eds. Textbook of Pain. 4th ed. Edinburg, Scotland: Churchill Livingstone; 1999:2-9.

Kerusakan jaingan perifer, seperti pembedahan, menyebabkan inflamasi dan nosiseptor menjadi hipersensitif. Aktivasi nosiseptor perifer nilai ambang tinggi juga menyebabkan pelepasan beberapa bahan kimia dan mediator nyeri, seperti ion hidrogen, substance P, bradykinin, prostaglandin dan neuropeptida. Bahan-bahan tersebut bersama dengan mediator inflamasi dan terminal simpatetik aktif membentuk suatu lingkungan "sensitizing" yang mempengaruhi nosiseptor melalui :

1.peningkatan sensitifitas mekanisme transduksi (hipersensitifitas)

2.penguatan respon terhadap stimulus yang menyakitkan pada kondisi normal


Sensitisasi perifer juga menyebabkan sensitisasi sentral, meliputi penurunan nilai ambang, sehingga signal nyeri timbul dari stimulus non-noxious (alodinia).


Rujukan

  1. Woolf CJ. A new strategy for the treatment of inflammatory pain: prevention or elimination of central sensitization. Drugs. 1994;47(suppl 5):1-9.


Injuri pada jaringan dapat menyebabkan hipersensitifitas pada sistem saraf pusat. Sensitisasi sentral tersebut dapat menetap walaupun stimulus sudah hilang, hal tersebut akibat dari perubahan dari sensitivitas neuron spinal.


Karakteristik dari sensitisasi sentral adalah :

1.penurunan nilai ambang stimulasi, sehingga stimulus non-noxious juga dapat mengatifkan neuron

2.perubahan pola respon sementara, yaitu stimulus sesaat dapat menimbulkan letusan aktivitas yang menetap

3.peningkatan respon umum dari neuron motorik, yaitu stimulus memberikan efek yang lebih kuat (hiperalgesia primer)

4.area reseptif bertambah luas, yaitu respon timbul pada area yang lebih luas (hiperalgesia sekunder)


Dorsal horn juga berperan dalam terjadinya alodinia. Pada spinal cord, input serat C oleh injuri menyebabkan terbentuknya hubungan anatomi antara neuron yang berespon terhadap signal Ab dengan neuron yang berespon terhadap signal Ad dan serat C. Maka, stimulus sentuhan non-noxious dapat menimbulkan nyeri.


Neurochemistry pada sensitisasi sentral belum diketahui dengan lengkap, tapi diyakini terjadi penggantian ion magnesium pada reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA). Aktivasi serat C menyebabkan depolarisasi neuron oleh substance P. Kemudian terjadi pemindahan ion magnesium dari reseptor NMDA dan memungkinkan masuknya ion kalsium ke dalam sel. Diduga juga ion kalsium tersebut mempengaruhi ekspresi gen dan membuat sensitisasi sentral menjadi permanen dan tidak tergantung nosisepsi perifer.


Rujukan

  1. Woolf CJ. A new strategy for the treatment of inflammatory pain: prevention and elimination of central sensitization. Drugs. 1994;47(suppl 5):1-9.

  2. Mitchell VD, Raja SN. Preemptive analgesia: Pathophysiology. In: Benzon HT, et al, eds. Essentials of Pain Medicine and Regional Anesthesia. New York, NY: Churchill Livingstone; 1999:140-141.

Sel-sel yang rusak melepaskan mediator nyeri yang menimbulkan keradangan. Termasuk dalam mediator tersebut adalah metabolit asam arakidonat, proton, bradykinin, substance P, histamine dan serotonine. Beberapa mediator tersebut dapat mengatifkan dan memberikan sensitisasi secara langsung pada nosiseptor, sehingga berperan pada hiperalgesia primer. Mediator lainnya berperan pada pelepasan algogenic substances melalui sel-sel radang. Kombinasi semua mediator nyeri tersebut mempunyai efek sinergistik yang memperkuat respon nosiseptor.


Metabolit asam arakidonat, seperti prostaglandin dan leukotrine, berperan pada nyeri inflamasi dan hiperalgesia melalui sensitisasi nosiseptor kulit dan visera terhadap stimulus alami dan bahan-bahan endogen lainnya. Bradykinin, yang terlepas setelah injuri jaringan, menimbulkan nyeri dan sensitisasi sesaat nosiseptor terhadap stimulus panas. Peningkatan kadar proton berperan pada nyeri dan hiperalgesia pada inflamasi melalui sensitisasi nosiseptor secara selektif terhadap stimulus mekanikal.


Polipeptida substance P tidak memberikan sensitisasi secara langsung pada nosiseptor kulit, tapi mungkin menyebabkan hiperalgesia secara tak langsung melalui efek pro-inflamasi. Efek tersebut meliputi vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler dan meningkatkan pelepasan prostaglandin E2. Substance P mampu menimbulkan pelepasan histamine dari sel-sel mast, menyebabkan vasodilatasi dan edema. Histamine juga memperkuat respon nosiseptor terhadap bradykinin dan panas.

Degranulasi sel mast melepaskan platelet-activating factor, selanjutnya menyebabkan pelepasan serotonine dari platelet. Serotonine mampu mengaktifkan nosiseptor dan memperkuat nyeri oleh bradykinin.


Rujukan

  1. Raja SN, Meyer RA, Ringkamp M, Campbell JN. Peripheral neural mechanism of nociception. In: Wall PD, Melzack R, eds. Textbook of Pain. 4th ed. Edinburg, Scotland: Churchill Livingstone; 1999: 11-57.

  2. Levine JD, Reichling DB. Peripheral mechanism of inflammatory pain. In: Wall PD, Melzack R, eds. Textbook of Pain. 4th ed. Edinburg, Scotland: Churchill Livingstone; 1999: 59-84.


Excitatory neurotransmitter utama pada sistem somatosensori adalah asam amino glutamat dan aspartat, yang memediasi transmisi hubungan aferen pada sistem somatosensori dengan mengaktifkan 4 jenis reseptor yang berbeda yaitu : N-methyl-D-aspartate (NMDA) glutamate, non-NMDA, kainate dan reseptor AMPA. Reseptor NMDA yang dapat memblok ion magnesium, selalu terlibat pada respon terhadap stimulus yang intens dan berkepanjangan. Bila teraktivasi, reseptor NMDA menyebabkan perubahan pada eksitabilitas neuron sensorik. Reseptor AMP dan kainate berkaitan dengan terowongan sodium dan mungkin berperan pada sebagian besar signal aferen sinaptik.


Excitatory transmitter jenis kedua adalah adenosine triphosphate (ATP), berperan sebagai excitatory transmitter pada sel yang hanya menerima input mekanoreseptif nilai ambang rendah.


Amino acid g-aminobutyric acid (GABA) adalah transmitter inhibitori yang utama pada tingkat yang lebih tinggi, sedangkan glycine juga sebagai neurotransmitter inhibitori yang terutama berperan pada tingkat spinal.


Norepinephrine adalah transmitter inhibitori yang penting pada jalur desenden yang menuju dorsal horn. Serotonine (5-hydroxytryptamine) juga sebagai neurotransmitter inhibitori pada jalur desenden, tapi beberapa jenis reseptor serotonin tampaknya merangsang nosisepsi.


Perubahan fungsi neurotransmitter inhibitori tersebut dapat menimbulkan hiperalgesia dan juga berperan pada nyeri neuropatik dan kondisi kronis lainnya.


Adenosine berperan sebagai neurotransmitter inhibitori pada tingkat spinal dan sebagai mediasi efek analgesik dari noradrenalin. Acetylcholine juga mempunyai efek analgesik pada spinal dorsal horn.


Rujukan

  1. Dougherty PM, Raja SN. Pain and the neurochemistry of somatosensory processing. In: Benzon HT, et al, eds. Essentials of Pain Medicine and Regional Anesthesia. New York, NY: Churchill Livingtone; 1999:7-9.



Neuropeptida eksitatori substance P dan neurokinin A terkonsentrasi pada serat aferen primer, tapi mungkin juga terdapat pada neuron intrinsik pada spinal dorsal horn dan thalamus. Mereka berperan pada peningkatan kadar ion kalsium intrasel, mungkin melalui pelepasan inositol phosphate. Pada tingkat spinal, substance P dan neurokinin A dilepaskan setelah ada signal yang memadai oleh aferen nosiseptif serat C (C-fiber nociceptive afferents).


Neuropeptida berperan penting dalam induksi sensitisasi, dan juga pada timbulnya hiperalgesia setelah injuri pada kulit. Neurokinin A juga memfasilitasi kerja neurotransmitter eksitatori pada sinaptik.


Neuropeptida inhibitori pada tingkat spinal terdiri dari somatostatin, enkephalin, dan mungkin juga dynorphin. Pada tingkat thalamus, endorphine juga beraksi sebagai neuropeptida inhibitori. Jenis reseptor untuk peptida opioid adalah subtipe m,d, dan k pada semua tingkat sistem somatosensori. Reseptor tersebut berperan pada modulasi cAMP intraseluler dan kadar potasium.


Rujukan

  1. Dougherty PM, Raja SN. Pain and the neurochemistry of somatosensory processing. In: Benzon HT, et al, eds. Essential of Pain Medicine and Regional Anesthesia. New York, NY: Churchill Livingstone; 1999:7-9.


Cyclooxygenase (COX) adalah enzim utama pada kaskade asam arakidonat menghasilkan berbagai macam prostanoid, seperti prostaglandin (PG) dan thromboxane (TX). Phospholipase A2 menyebabkan pelepasan asam arakidonat dari membran sel, selanjutnya oleh COX diubah menjadi PGH2. Melalui kedua proses tersebut, asam arakidonat pada awalnya diubah menjadi prostaglandin G2 (PGG2) oleh aktivitas cyclooxygenase dari COX dan kemudian menjadi prostaglandin H2 (PGH2) oleh aktivitas peroxidase dari COX. Pada akhirnya PGH2 diubah oleh berbagai enzim spesifik jaringan menjadi prostaglandin atau thromboxane lainnya, yang mempunyai efek biologis pada jaringan tersebut.


Rujukan

  1. Campbell WB, Halushka PV. Lipid-derived autocoids: eicosanoids and platelet-activating factor. In: Goodman and Gilman's The Pharmacologic Basis of Therapeutics. 9th ed. New York, NY:McGraw-Hill; 1996:601-616.


Prostanoid adalah produk dari metabolisme asam arakidonat (arachidonic acid), yang mempunyai aktivitas fisiologis kompleks. Prostanoid yang utama adalah prostaglandin E2 (PGE2), thromboxane A2 dan PGI2 (juga disebut prostasiklin). PGE2 dihasilkan oleh berbagai jaringan seperti ginjal dan saluran gastrointestinal. PGE2 adalah vasodilator dan berperan dalam mekanisme pertahanan dan perbaikan yang berfungsi untuk mempertahankan keutuhan mukosa gastrointestinal. Mekanisme proteksi tersebut terjadi melalui inhibisi sekresi asam lambung, stimulasi sekresi mukus dan bikarbonat, peningkatan aliran darah mukosa dan meningkatkan regenerasi mukosa. Pada ginjal, PGE2 menyebabkan diuresis dan natriuresis. PGE2 juga mempunyai efek inhibisi limfosit seperti pada sel-sel lainnya yang berperan dalam inflamasi dan respon alergi. Thromboxane A2 adalah metabolit utama asam arakidonat pada platelet. Prostanoid tersebut menimbulkan stimulasi aktivasi trombosit dan berperan dalam proses proses agregasi platelet intravaskuler. Beberapa otot polos, seperti pada arteri dan bronkus akan mengalami kontraksi oleh thromboxane A2. Prostasiklin sebaliknya berpotensi menghambat agregasi platelet. Juga memiliki efek vasodilatasi, bekerja pada juxtaglomerular apparatus untuk stimulasi pelepasan renin.


Rujukan

  1. Simon LS. Action and toxic effect of the nonsteroidal anti-inflammatory drugs. Curr Opin Rheum. 1994;6:238-251.

  2. Portanova JP, Zhang Y, Anderson GD, et al. Selective neutralization of prostaglandin E2 blocks inflammation, hyperalgesia, and interleukin 6 production in vivo. J Exp Med. 1996;184:883-891.

Nyeri akut adalah respon subyekif yang kompleks dan diakibatkan oleh berbagai macam keadaan, meliputi pembedahan, luka bakar, kolik ginjal atau infark miokard. Beberapa penyakit kronis dapat mengalami eksaserbasi dengan gejala nyeri akut. Seperti pasien kanker dengan metastase yang menderita episode nyeri akut akibat patah tulang panjang atau obstruksi intestinal berkaitan dengan penyakit primernya.


Untuk membedakan berbagai macam penyebab nyeri akut, beberapa hal penting yang perlu diperhatikan adalah onset nyeri, karakteristik dan intensitasnya. Gambaran tersebut menunjukkan apakah nyeri tersebut merupakan nyeri somatik atau nyeri visera. Nyeri somatik bersifat tajam dan nyata, terlokalisir pada tempat timbulnya stimulus. Sebaliknya nyeri visera, yang berkaitan dengan organ dalam, bersifat tumpul dan difus, serta dapat menyebar ke area lainnya. Identifikasi jenis nyeri, apakah nyeri somatik atau nyeri visera, dan menentukan jalur saraf yang terlibat, adalah sangat penting untuk menentukan metode terapi yang paling efektif.


Rujukan

  1. Siddall PJ, Cousin MJ. Introduction to pain mechanism: implications for neural blockade. In: Cousin MJ, Bridenbaugh PO, eds. Neural Blochade in Clinical Anesthesia and Management of Pain. 3rd ed. Philadelphia, Pa:Lippencott-Raven;1998:675-713.

  2. Foley KM. The treatment of cancer pain. N Engl J Med. 1985;313:84-95.

Nyeri akut selalu disebabkan oleh trauma, pembedahan, kondisi akut medis seperti infark miokard atau proses fisiologis pada persalinan. Nyeri akut sering bersifat mendadak, terus menerus dan terlokalisir, biasanya hilang bila injuri telah sembuh.


Nyeri akut berkaitan dengan peningkatan aktivitas otonom yang ditandai oleh berkeringat, takikardia, peningkatan tekanan darah dan frekuensi respirasi, serta penurunan kedalaman pernafasan. Nyeri akut yang tak teratasi mengakibatkan kecemasan dan gangguan tidur, yang lebih memperberat nyeri itu sendiri.


Rujukan

  1. Siddall PJ, Cousins MJ. Introduction to pain mechanism: implications for neural blockade. In: Cousins MJ, Bridenbaugh PO, eds. Neural Blockade in Clinical Anesthesia and Management of Pain. Philadelphia, Pa: Lippincott-Raven;1998:675-713.


Nyeri kronis didefinisikan sebagai sensasi nyeri yang menetap walaupun injuri telah sembuh atau nyeri yang telah berlangsung lebih dari 3 bulan. Nyeri kronis mengakibatkan gangguan fisik, mental dan aktivitas sosial disertai dengan rasa marah, depresi atau gangguan hubungan sosial. Juga timbul respon vegetatif seperti gangguan tidur, sensitif, kehilangan nafsu makan dan penurunan aktivitas motorik. Pasien dengan nyeri kronis yang tak teratasi mungkin juga mengalami gangguan psikologis yang berat.


Nyeri akut yang hebat dan berkepanjangan, seperti pada pembedahan besar, trauma hebat, atau kondisi medis dengan nyeri hebat (seperti pankreatitis), kadang-kadang dapat menyerupai nyeri kronis, dimana pasien menunjukkan rasa marah atau depresi, dan juga karekteristik nyeri kronis lainnya.


Beberapa pasien dengan nyeri kronis mungkin mengalami episode nyeri akut. Seperti pasien dengan kanker metastasis yang memerlukan tindakan pembedahan atau mengalami patah tulang berkaitan dengan penyakitnya. Memang, pada keadaan seperti itu perbedaan antara nyeri akut dan nyeri kronis menjadi kurang jelas, terutama bila nyeri akut menetap atau nyeri akut menjadi superimposed terhadap nyeri kronis.


Rujukan

  1. Merskey H, Bogduk N. In: Classification of Chronic Pain: Description of Chronic Pain Syndrome and Definitions of Pain Term. 2nd ed. Seattle, Wash: IASP Press; 1994.

  2. Siddall PJ, Cousins MJ. Introduction to pain mechanism: implications for neural blockade. In: Cousins MF, Bridenbaugh PO, eds. Neural Blockade in Clinical Anesthesia and Management of Pain. Philadelphia, Pa: Lippincott-Raven; 1998:675-713.

  3. Bonica JJ. Biology, pathophysiology and treatment of acute pain. In:Lipton S, Miles J, eds. Persistent Pain. Orlando, Fla:Grune & Stratton; 1985:1-32.

Nyeri neuropatik berkaitan dengan kelainan pada sistem saraf pusat atau sistem saraf tepi oleh berbagai macam penyebab. Karakteristik nyeri neuropatik meliputi nyeri spontan, sering dirasakan seperti terbakar atau tertusuk atau kesemutan yang kadang-kadang menyakitkan ; hiperalgesia (rasa nyeri berlebihan yang timbul akibat stimulus noxious) ; dan alodinia (rasa nyeri yang timbul akibat stimulus non-noxious).


Berbeda dengan nyeri nosiseptif, dimana nyeri timbul bila jalur saraf tertentu diaktifkan oleh stimulus kerusakan jaringan, sedangkan nyeri neuropatik adalah akibat dari perubahan sensitifitas sistem somatosensorik. Nosiseptor perifer tetap tersensitisasi pada kondisi nyeri neuropatik, walaupun stimulus telah hilang. Sensitisasi tersebut menimbulkan hiperalgesia dan alodinia. Selain itu, nyeri neuropatik dapat juga timbul bila impuls abnormal timbul pada saraf tepi (seperti neuroma), atau juga sensitisasi sentral, dapat menyebabkan nyeri spontan.


Rujukan

  1. Rathmell JP, Katz JA. Diabetic and other peripheral neuropathies. In: Benzon HT, et al, eds. Essentials of Pain Medicine and Regional Anesthesia. New York, NY: Churchill Livingstone; 1999:288-294.


Nyeri adalah pengalaman subyektif, dan subyektivitas tersebut mempersulit usaha untuk mengukur rasa nyeri dan efek analgesik. Berbagai faktor pada pasien seperti umur, jenis kelamin, budaya dan kemampuan komunikasi menentukan persepsi pasien tentang nyeri. Pengalaman sebelumnya tentang nyeri juga mempengaruhi persepsi saat ini. Tetapi, penelitian tentang faktor-faktor tersebut masih memberikan hasil yang bertentangan.


Rujukan

  1. Burns JW, Hodsman NB, McLintock TT, et al. The influence of patient characteristics on the requirements for postoperative analgesia. Anaesthesia. 1989;44:2-6.

  2. Preble L, Sinatra R. Patients characteristics in influencing postoperative pain management. In: Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B, Preble LM, eds. Acute Pain Mechanism and Management. St.Louis, Mo:Mosby-Year Book; 1992:140-150.

Nyeri akut menyebabkan berbagai perubahan fisiologis, seperti respon stres umum yang memberikan pengaruh pada sistem pernafasan, kardiovaskuler, gastrointestinal, genitourinari dan muskuloskeletal.


Respon refleks terhadap stimulasi nosiseptif dapat berasal dari suprasegmental dan korteks, atau spinal. Refleks suprasegmental timbul melalui jalur asendens (ascending pathways) menuju ke batang otak, hipotalamus dan korteks, tempat munculnya refleks withdrawal dan respon otonom. Blok terhadap input aferen tersebut memungkinkan terapi baru terhadap nyeri post-operasi, terutama menurunkan respon somatik yang potensial berbahaya, sehingga mampu menekan morbiditas.


Refleks spinal ditimbulkan oleh signal nosiseptif yang ditransmisikan melalui dorsal horn menuju neuron somatomotor atau otonom pada berbagai level spinal, menimbulkan respon seperti ileus paralitik, vasokonstriksi, takikardi atau spasme otot.


Rujukan

  1. Fine PC, Ashburn MA. Functional neuroanatomy and nociception. In: Ashburn MA, Rice LJ, eds. The management of Pain. Philadelphia, Pa: Churchill Livingstone;1998:1-16.

  2. Bonica JJ. The Management of Pain.2nd ed.Vol.1.Philadelphia,Pa:Lea&Febiger;1990.

Respon stres terhadap pembedahan dan trauma lainnya menimbulkan perubahan endokrin dan metabolisme, seperti peningkatan sekresi hormon katabolik (hormon adrenokortikotropin, hormon antidiuretik dan katekolamin) dan menurunkan sekresi hormon anabolik (insulin dan testosteron). Perubahan tersebut menyebabkan nausea, stasis intestinal, perubahan aliran darah, koagulasi dan fibrinolisis. Juga dapat meningkatkan kebutuhan pada sistem kardiovaskuler dan pernafasan. Respon stres terdiri dari 2 fase : fase akut "ebb phase" ditandai dengan keadaan hipodinamik, kemudian diikuti oleh keadaan hiperdinamik "flow phase", yang dapat berlangsung beberapa hari atau minggu tergantung dari parahnya trauma atau adanya komplikasi. Impuls nosiseptif diyakini mempunyai peranan penting pada ebb phase dan pada awal flow phase. Faktor lainnya meliputi kecemasan, perdarahan, infeksi dan faktor lokal jaringan juga turut berperan.


Respon stres umum juga mempengaruhi cairan dan elektrolit. Peningkatan hormon katekolamin, kortisol dan ADH mengakibatkan retensi cairan dan ion natrium, serta meningkatkan ekskresi ion kalium.


Maka, nyeri yang tidak teratasi akan menimbulkan efek penyerta pada lebih dari satu sistem tubuh, terutama pada pasien yang menjalani pembedahan resiko tinggi.


Rujukan

  1. Kehlet H. Effect on pain relief on the surgical stress response. Reg Anesth.1996;21(6S):35-37.

  2. Cousins M, Power I. Acute and postoperative pain. In:Wall PD, Melzack R,eds. Textbook of Pain.4th ed. Philadelphia,Pa:W.B.Saunders Company;1999:447-491.

  3. Fine PC, Ashburn MA. Functional neuroanatomy and nociception. In: Ashburn MA, Rice LJ,eds. The Management of Pain. Philadephia,Pa:Churchill Livingstone;1998:1-16.

Nyeri akut dapat menyebabkan tekanan inspirasi dan ekspirasi yang tinggi dan penurunan volume tidal, kapasitas vital, kapasitas residu fungsional dan ventilasi alveoli. Penurunan kapasitas residu fungsional dapat menimbulkan kolaps paru regional (atelektasis) dan perubahan hubungan antara ventilasi paru dengan perfusi (V/Q inequality). Terjadi hipoksemia akibat dari kegagalan pertukaran gas dalam paru-paru. Terutama sangat beresiko pada pasien usia lanjut, perokok dan pasien dengan penyakit paru-paru. Efek buruk nyeri akut lainnya adalah penurunan mobilitas, terutama pada pasien dengan resiko tinggi, dapat menyebabkan pneumonia hipostatik.


Rujukan

  1. Cousin M, Power I. Acute and postoperative pain. In:Wall PD, Melzack R,eds. Textbook of Pain.4th ed. Edinburg, Scotland: Churchill Livingstone;1999:447-491.

  2. Craig DB. Postoperative recovery of pulmonary function. Anesth Analg.1981;60:46-52.

Pada pembedahan, refleks spinal involunter timbul sebagai respon terhadap stimulus noxious dari tempat trauma, menghasilkan refleks spasme otot pada area jaringan tersebut dan pada kelompok otot di sekitarnya. Pasien dengan nyeri mungkin menyebabkan penurunan gerakan otot volunter pada daerah toraks dan abdomen, fenomena tersebut sering dinamakan "muscle splinting". Splinting tersebut dapat menimbulkan penutupan parsial glottis, menghasilkan suara mendengkur saat bernafas. Muscle splinting tersebut juga mempengaruhi kemampuan pasien untuk batuk dan mengeluarkan sekret, mempermudah terjadinya kolaps jaringan paru dan hipoksemia. Infeksi dan pneumonia sering terjadi. Ketidakmampuan mengikuti fisioterapi nafas akan memperlama komplikasi paru-paru seperti infeksi atau pneumonia, akhirnya memperlama perawatan di rumah sakit.


Rujukan

  1. Cousin M, Power I. Acute and postoperative pain. In: Wall PD, Melzack R,eds. Textbook of Pain.4th ed. Edinburg, Scotland: Churchill Livingstone; 1999:447-491.

  2. Craig DB. Postoperative recovery of pulmonary function. Anesth Analg, 1981;60:46-52.

Komponen utama dari respon refleks segmental dan suprasegmental adalah meningkatnya tonus simpatis menyeluruh. Hal tersebut menyebabkan peningkatan denyut jantung, tahanan vaskuler perifer dan stroke volume, pada akhirnya akan meningkatkan cardiac output. Peningkatan tekanan darah mengakibatkan kerja jantung dan konsumsi oksigen oleh jantung. Peningkatan denyut jantung menyebabkan penurunan waktu pengisian diastolik, dapat menyebabkan pengurangan pengiriman oksigen ke miokard, menimbulkan resiko iskemia.


Pengaruh nyeri post-operasi pada berbagai variabel kardiovaskuler telah diteliti oleh Sjogren dan Wright. Mereka menemukan bahwa nyeri berkaitan dengan peningkatan tahanan perifer, mean arterial blood pressure, denyut jantung dan cardiac output. Mereka juga mendapatkan terjadinya peningkatan beban ventrikel kiri.


Reseptor alfa pada pembuluh darah koroner memberikan respon terhadap stimulasi simpatis menimbulkan vasokonstriksi koroner. Proses patofisiolois tersebut menyebabkan iskemia, angina, dan infark miokard. Nyeri angina berkaitan dengan peningkatan kecemasan dan pelepasan katekolamin, selanjutnya potensial menyebabkan konstriksi arteri koroner.


Rujukan

  1. Cousins M, Power I. Acute and postoperative pain. In: Wall PD, Melzack R, eds. Textbook of Pain,4th ed. Edinburg, Scotland: Churchill Livingstone; 1999:447-491.

  2. Sjogren S, Wright B. Circulatory changes during continuous epidural blockade. Acta Anaesth Scand. 1972;46(suppl):5-25.

  3. Bowler G, Wildsmith J, Scott DB. Epidural adinistration of local anesthetics. In: Cousin MJ, Phillips GD,eds. Acute Pain Management. New York, NY: Churchill Livingstone;1986:187-236.

Pada sirkulasi perifer, nyeri akut menyebabkan penurunan aliran darah ke tungkai, yang bisa menimbulkan masalah serius terutama pada pasien yang menjalani tindakan grafting pembuluh darah. Selain itu, nyeri hebat pada pembedahan dan meningkatnya aktivitas simpatis menyebabkan penurunan inflow arteri dan pengosongan vena. Keadaan hiperkoagulasi, terutama pada pasien yang imobilisasi, dapat menyebabkan trombosis dan emboli paru.


Rujukan

  1. Cousins M, Power I. Acute and postoperative pain. In: Wall PD, Melzack R, eds. Textbook of Pain,4th ed. Edinburg, Scotland: Churchill Livingstone; 1999:447-491.

  2. Modig J, Malmberg P, Karlstom G. Effect of epidural versus general anesthesia on calf blood flow. Acta Anaesth Scand. 1980;24:305-309.

  3. Modig J, Borg T, Karlstom G, Maripuu E, Sahlstedt B. Thromboembolism after hip replacement: role of epidural and general anesthesia. Anesth Analg. 1983;62:174-180.

Nyeri akut dan peningkatan aktivitas simpatis menyebabkan peningkatan sekresi intestinal dan tonus otot polos, dan penurunan motilitas usus. Efek tersebut menimbulkan stasis gaster dan ileus paralitik. Analgetik opioid mungkin juga menyebabkan efek gastrointestinal.


Peningkatan aktivitas simpatis juga menyebabkan peningkatan aktivitas sfingter kandung kencing menimbulkan retensi urin. Opioid mungkin juga menyebabkan retensi urin.


Rujukan

  1. Cousins M, Power I. Acute and postoperative pain. In: Wall PD, Melzack R, eds. Textbook of Pain,4th ed. Edinburg, Scotland: Churchill Livingstone; 1999:447-491.

  2. Nimmo WS. Effect of anaesthesia on gastric motility and emptying. Br J Anaesth. 1984;56:29-37.

Aktivitas motorik segmental dan suprasegmental sebagai respon terhadap nyeri menghasilkan spasme otot, selanjutnya meningkatkan rasa nyeri. Siklus tersebut juga selanjutnya mengaktifkan aktivitas simpatis dengan cepat dan meningkatkan sensitifitas dari nosiseptor perifer.


Rujukan

  1. Cousins M, Power I. Acute and postoperative pain. In: Wall PD, Melzack R, eds. Textbook of Pain,4th ed. Edinburg, Scotland: Churchill Livingstone; 1999:447-491.


Nyeri post-operasi yang menetap dan mobilitas terbatas dapat mempengaruhi metabolisme otot, atrofi otot dan memperlama pemulihan fungsi otot. Efek tersebut terjadi akibat dari nyeri dan respon refleks, seperti vasokonstriksi. Efek tersebut dapat dihilangkan oleh obat anti-nyeri yang efektif.


Rujukan

  1. Cousins M, Power I. Acute and postoperative pain. In: Wall PD, Melzack R, eds. Textbook of Pain,4th ed. Edinburg, Scotland: Churchill Livingstone; 1999:447-491.

  2. Bonica J. Biology, pathophysiology and treatment of acute pain. In: Lipton S, Miles J, eds. Persisten Pain. Orlando,Fla: Grune & Stratton;1985:1-32.

Kecemasan dan rasa takut adalah efek emosional yang utama dari nyeri akut hebat yang tak teratasi, menyebabkan delirium pada pasien yang sedang mendapatkan perawatan intensif. Pasien dengan nyeri akut dapat menunjukkan perubahan tingkah laku, meliputi depresi, menghindari kontak personal, peningkatan sensitifitas terhadap stimulus eksternal seperti cahaya dan suara. Susah tidur menjadi bagian dari masalah tersebut, membentuk lingkaran antara nyeri akut, kecemasan dan gangguan tidur.


Rujukan

  1. Cousin M, Power I. Acute and postoperative pain. In: Wall PD, Melzack R, eds. Textbook of Pain.4th ed. Edinburg, Scotland: Churchill Livingstone; 1999:447-491.

  2. Peck C. Psychological factors in acute pain management. In: Cousin MJ, Phillips GD, eds. Acute Pain Management. Edinburg, Scotland: Churchill Livingstone; 1986:251-274.

Nyeri memerlukan penatalaksanaan yang serius, maka Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO) bekerjasama dengan sebuah panel yang terdiri dari para ahli nyeri untuk membuat dan merevisi standar penilaian dan terapi nyeri yang rasional. Sebuah tim khusus interdisiplin direkomendasikan untuk melakukan penilaian (assessment) termasuk mencantumkan catatan khusus pada data rekam medik pasien tentang nyeri ( nyeri sebagai tanda vital yang kelima).


Rujukan

  1. Joint Commission on the Accreditation of Healthcare Organizations. Jt Comm Perspect. 1999;19(5):6-8.

  2. Sklar DP. Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations requirements for sedation. Ann Emerg Med. 1996;27:412-413.


Manajemen nyeri interdisiplin melibatkan tim medis, perawatan, staf gizi, farmasi dan manajer.


Rujukan

1. Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations. Jt Comm Perspect.1999;19(5):6-8.


Beberapa pilihan analgesik tersedia untuk terapi nyeri akut: opioid, non-opioid (seperti : asetaminofen, obat anti-inflamasi) dan tramadol. Juga terapi kombinasi dimana opioid dan non-opioid, anestesi lokal, blok saraf.

World Health Organization (WHO) mengeluarkan pedoman pemilihan obat anti-nyeri. Pedoman tersebut terutama ditujukan untuk manajemen nyeri kanker, tapi juga dapat dipakai untuk manajemen nyeri akut dan nyeri kronik non-kanker. Menurut pedoman tersebut, intensitas nyeri adalah ukuran subyektifitas utama yang memerlukan intervensi.


Obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID) dan asetaminofen harus dipakai pertama kali untuk nyeri ringan sampai sedang. Bila nyeri tidak teratasi, diberi opioid, bersama dengan analgesik non-opioid. Opioid potensi rendah harus dicoba terlebih dahulu, opioid yang poten diberikan pada nyeri hebat.


Rujukan

1. World Health Organization. Cancer pain and palliative care. Report of a WHO expert committee. Technical report series no.804. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 1990.

Golongan opioid meliputi bahan alami maupun sintetik yang dapat berikatan dengan reseptor opioid, sedangkan opiat berasal dari tanaman poppy dan derivat semi-sintetik lainnya. Efek analgesik opioid (narkotik) adalah akibat dari interaksi dengan reseptor opioid endogen. Beberapa tipe reseptor telah diidentifikasi yaitu reseptor opioid m,d, dan k. Saat ini opioid adalah obat yang paling efektif untuk menghilangkan rasa nyeri yang sedang sampai berat. Sebagian besar opioid yang tersedia bekerja pada reseptor m, yang terdiri dari beberapa sub-reseptor, dan berbeda dalam potensi, onset, durasi, dan cara pemberiannya. Perubahan pada tingkat reseptor menimbulkan toleransi, dosis yang lebih tinggi dan progresif diperlukan untuk menghasilkan efek analgesik yang sama.


Rujukan

  1. Zuckerman LA, Ferrante FM. Nonopioid and opioid analgesics. In: Ashburn MA, Rice LJ, eds. The Management of Pain. Philadelphia, Pa: Churchill Livingstone; 1998:111-140.

  2. Fishman SM, Borsook D. Opioid in pain management. In: Benzon HT, et al, eds. Essentials of Pain Medicine and Regional Anesthesia. New York, NY: Churchill Livingstone; 1999:51-54.

Opioid mempunyai peran penting dalam manajemen nyeri post-operasi, tapi dosis yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri akibat gerakan atau batuk, sering menimbulkan efek samping yang serius, seperti depresi sistem saraf pusat, menimbulkan sedasi, depresi pernafasan, ileus, dan retensi urin. Efek samping dapat dihilangkan dengan antagonis narkotik naloxone.

Efek sedasi menjadi masalah bagi pasien rawat jalan maupun rawat inap. Retensi urin dan ileus dapat memperlama pasien rawat inap. Insiden klinis depresi pernafasan sekitar 1%. Efek samping opioid lainnya adalah rasa mual (30%), muntah (30%), konstipasi dan pruritus.


Rujukan

  1. Twycross RG. Opioids. In: Wall PD. Melzack R, eds. Textbook of Pain. 4th ed. Edinburg, Scotland: Churcill Livingstone; 1999:1187-1214.

  2. Page S. Opioid receptors. In: Benzon HT, et al, eds. Essentials of Pain Medicine and Regional Anesthesia. Philadelphia, Pa: Churchill Livingstone; 1999;48-50.

Asetaminofen adalah analgesik non-opioid yang mempunyai efek analgesik dengan cara meningkatkan nilai ambang nyeri, mungkin melalui inhibisi sentral prostaglandin. Asetaminofen juga sebagai antipiretik melalui mekanisme kerja di pusat panas di hipotalamus.


Tramadol mempunyai 2 mekanisme kerja yaitu : berikatan secara lemah dengan reseptor opioid m,d, dan k, dan juga menghambat uptake norepinefrin dan serotonin. Sehingga efek anti-nosiseptif tramadol melalui mekanisme opioid dan non-opioid. Tramadol tidak mempunyai efek samping serius seperti opioid lainnya seperti depresi pernafasan, tapi masih memiliki efek sedasi, mual dan konstipasi.


Rujukan

  1. Physician's Desk Reference. Montvale, NJ: Medical Ecnomics Co, Inc.;2000:12-813.

  2. Sisson CB. Tramadol. In: Benzon HT, et al, eds. Essential of Pain Medicine and Regional Anesthesia. New York, NY: Churchill Livingstone; 1999:59-62.

Mekanisme utama semua obat analgesik anti-inflamasi adalah penghambatan enzim utama dalam sistesis prostanoid, terutama siklo-oksigenase (cylooxygenase = COX). Telah diketahui ada 2 isoenzim COX yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 terdapat pada jaringan normal sebagai bagian dari fungsi sel normal. Seperti produksi prostaglandin pada proteksi saluran gastrointestinal dan sintesis thromboxane pada platelet dikontrol oleh COX-1. Sebaliknya COX-2 diinduksi oleh proses patologis seperti inflamasi dan nyeri. Analgesik anti-inflamasi konvensional pada dosis terapeutik menghambat COX-1 dan COX-2. Obat tersebut memberikan efek anti-inflamasi dan analgesik yang efektif melalui penghambatan COX-2, tetapi juga memberikan efek timbulnya ulkus saluran gastrointestinal dan gangguan fungsi trombosit akibat dari penghambatan COX-1.

Obat yang menghambat COX-2 tanpa menghambat COX-1 saat ini telah tersedia. Obat tersebut menghilangkan nyeri dan inflamasi tanpa resiko toksisitas gastrointestinal dan disfungsi platelet.


Rujukan

  1. Vane JR. Inhibition of prostaglandin synthesis as a mechanism of action for aspirin-like drugs. Nature. 1971;231:232-235.

  2. Emery P, et al. Celecoxibe versus diclofenac in long-term management of rheumatoid arthritis: randomized double-blind comparison. Lancet. 1999;254:2106-2111.

Beberapa pilihan analgesik tersedia untuk terapi nyeri akut : opioid, non-opioid (seperti : asetaminofen, obat anti-inflamasi) dan tramadol. Juga dapat terapi kombinasi dimana opioid dikombinasikan dengan non-opioid, atau anastesi lokal dan blok saraf. Masing-masing mempunyai kelebihan dan efek samping.

Kombinasi analgesik dapat meliputi opioid, anti-inflamasi, atau asetaminofen, yang mempunyai mekanisme kerja berlainan. Anti-inflamasi dapat meningkatkan potensi anti-nyeri dari opioid bila digunakan bersama. Potensiasi tersebut memungkinkan pemberian dosis lebih rendah kedua obat tersebut, sehingga juga menurunkan efek samping tergantung dosis. Tetapi, luasnya spektrum efek samping mungkin dapat meningkat, yang selalu harus menjadi pertimbangan dalam terapi kombinasi. Seperti pada kombinasi opioid dengan anti-inflamasi non-steroid konvensional, efek samping sedasi akibat opioid dan gangguan gastrointetinal akibat NSAID harus selalu diingat.


Rujukan

  1. Kehlet H, Dahl JB. The value of multimodal or balanced analgesia in postoperative pain treatment. Anesth Analg. 1993;77:1048-1056.


Pendekatan terapi multimodal dengan kombinasi obat analgesik serta program rehabilitasi yang efektif bertujuan untuk menghilangkan nyeri dengan efektif dan mobilisasi pasien lebih cepat.


Dasar rasional terapi kombinasi adalah pencapaian efek analgesia yang adekuat (melalui additive effect atau synergistic effect) dan penurunan efek samping tergantung dosis.


Rujukan

  1. Kehlet H, Dahl JB. The value of multimodal or balanced analgesia in postoperative pain treatment. Anesth Analg.1993;77:1048-1056.


Sebagian besar metode non-farmakologik lebih cocok untuk nyeri kronis, terutama terapi kognitif dan tingkah laku (cognitive-behavioral therapies), tapi metode tersebut dapat juga diterapkan pada manajemen nyeri akut. Efektifitas teknik tersebut terutama transcutaneous electrical nerve stimulation atau akupungtur masih mempunyai banyak kekurangan.


Teknik non-farmakologik, bagaimanapun juga mempunyai peran yang penting pada pendekatan multimodal atau inderdisiplin.


Rujukan

  1. Carr DB, Jacox AK, Chapman CR, et al. Acute Pain Management: Operative or Medical Procedures and Trauma. Clinical Practice Guideline No.1. Rockville, MD: Agency for Health Care Policy and Research, Public Health Service. Pub. US Dept. of Health and Human Services. No.92-0032. 1992.

  2. Hansson P, Lundberg T. Transcutaneous electrical nerve stimulation, vibration and acupuncture as pain-relieving measure. In: Wall PD, Melzack R, eds. Textbook of Pain.4th ed.Edinburg: Churchill-Livingstone. 1999;1341-1351.

  3. Joint Commission on accreditation of Healthcare Organizations. Jt Comm Perspect.1999;19(5):6-8.

















--
Shigenoi Haruki

Comments

Popular Posts