Jangan Berpaling Dariku

Cerpen ini adalah fiksi; sama sekali tidak berhubungan dengan perorangan,
tempat, atau kejadian yang sebenarnya.


12 September 2003, 12:00, di ruang kuliah Cambridge Harvard University
Jangan lupakan aku.
SMS dari Paul—cowokku, yang sejak enam bulan lalu tinggal di Birmingham—kali ini begitu singkat, tapi penting bagiku. Well, ya, dia kuliah di Universitas Aston Birmingham, sedangkan aku di Massachussetts sini. Dan sekarang, duduk di kelas yang sepi, aku tersenyum lebar—pada diriku sendiri—sambil menatap layar handphone lekat-lekat.
"Kau ngapain?" Frank, cowok-reseh-yang-cakep-tapi-menyebalkan, datang dan MENYAMBAR handphone-ku. Siapa yang nggak bete coba? "Hmm, SMS pacar."
"Kembalikan!" seruku. Aku pasang tampang cemberut, tapi Frank malah membaca SMS Paul barusan keras-keras. Jarinya sibuk berkutat dengan tombol-tombol handphone¬-ku (apa pun boleh, tapi PLEASE jangan hapus SMS Paul). Kulayangkan tinju ke wajahnya, yang langsung dia tangkap dengan satu tangan tanpa harus bersusah payah mengelak.
Frank menatapku. "Mary," panggilnya. "Paul jauh di Birmingham. Lupakan dia dan jadian denganku, oke?"
"Kembalikan," ulangku.
"Jangan harap," balas Frank. Senyum brengseknya belum hilang. "Kecuali kau mau jadi pacarku," tambahnya. Handphone-ku dia sembunyikan di balik tubuh. "Jawab, dong. Kau mau atau tidak?"
"'Ya' untuk handphone¬-ku, dan 'tidak' untuk pacaran denganmu. Maaf saja."
"Well, itu berarti 'ya'."
"Aku tidak bilang begitu."
"Satu-satunya cara mendapatkan handphone-mu kembali adalah dengan jadian denganku. Nggak ada cara lain. Bilang 'ya', dan selesai sudah."
Ya ampun, apa sih susahnya bilang 'ya'? Astaga, tidak. Aku nggak mau jadian dengan Frank si cowok reseh. Paul cowokku. Tapi handphone itu juga milikku.
Frank mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. "Aku menunggu jawabanmu."
"Oke. Ya," jawabku cepat. "Kembalikan handphone¬-ku." Sial, ini kan cuma main-main.
"Nggak jadi masalah." Frank melemparkan handphone-ku.
Aku menangkap dan menggenggamnya dengan hati-hati. Handphone-ku maksudku, bukan Frank. Permukaannya hangat, tapi aku jengkel, karena FRANK yang menggenggamnya. Selama ini aku nggak pernah membiarkan seorangpun—bahkan Paul—menyentuh handphone-ku. Tapi cowok keparat ini telah menghancurkan segalanya.
"Jangan lupakan kata-katamu itu, Mary."

9 Januari 2004, 15:00, di ruang kuliah Cambridge Harvard University
Empat bulan sudah kejadian menyebalkan itu berlalu. Ternyata aku keliru. Frank memang brengsek dan aku tahu dia bakal tetap brengsek selamanya. Tebak deh, dia mempermainkanku! Di depan anak lain dia berkoar bahwa aku adalah PACARNYA—dan anak-anak percaya. Betul-betul brengsek.
Sekarang aku sedang duduk termangu di bangku kelas. Sendirian lagi. Handphone-ku tergeletak di hadapanku; nggak kusentuh, nggak kupandang, nggak kuapa-apakan. Kubiarkan begitu saja. Aku nggak tahu harus gimana. Nomorku diblokir—tentu saja oleh Frank. Dia benar-benar melakukan apa saja yang dia inginkan. Nomor baru pun percuma, Frank pasti segera tahu dan memblokir nomor itu. (Frank cowok paling brengsek sedunia, asal kau tahu saja.)
Sial! Aku nggak tahu Paul meneleponku atau nggak! Aku juga nggak bisa membalas SMS dia! Kalau begini terus, aku bisa gila (well, sedikit hiperbol). E-mail pernah terpikir olehku, tapi saat itu juga aku ingat: Paul nggak punya e-mail. Dia jarang online.
"Brengsek kau, Frank," gumamku.
"Aku dengar itu," tukas Frank si cowok brengsek. Dia sedang berdiri di belakangku. Tanpa menoleh pun aku tahu dia sedang marah. Marah besar. Ini gawat. Untungnya hanya ada kami berdua di kelas. "Kuberi tahu, ya: aku NGGAK brengsek. Kau minta handphone¬-mu, aku kembalikan handphone-mu."
"Tapi aku nggak mau jadian denganmu, dan aku tahu kau tahu itu. Jangan seenaknya, kau cowok sialan!"
"Yang brengsek dan sialan itu KAU, Mary. Kau sudah mengiyakan perjanjian kita. Handphone-mu kembali, berarti kau jadian denganku. Dan aku juga tahu kau tahu itu. Tapi apa? Kau yang melanggar perjanjian itu. KAU yang brengsek."
Aku kehabisan kata-kata. Tenggorokanku tercekat.
Frank meraih handphone-ku yang sejak tadi tergeletak di meja. "Lihat ini, Mary. Lihat baik-baik." Diangkatnya handphone¬-ku tinggi-tinggi: dia MENCAMPAKKAN handphone-ku yang malang itu ke lantai ruang kelas.
Selanjutnya yang aku lihat hanyalah ribuan keping komponen handphone-ku beserakan di seluruh penjuru lantai kelas. Handphone-ku pecah berantakan. Hancur berkeping-keping.
Nomor Paul, SMS Paul, foto Paul, kenangan tentang dia... Tak ada yang tersisa. Semuanya tinggal puing-puing besi yang terronggok, berserakan di sekeliling kakiku.
Seperti orang bodoh, aku memunguti semuanya: puing-puing tak berguna itu. Beberapa menggores tanganku hingga berdarah. Aku menangis. Bukan karena sakit—well, memang sakit. Tapi sakitnya bukan pada tanganku. Rasa sakit itu menggerogoti hatiku.
Menembus tirai air mata, aku hanya bisa menyaksikan Frank melenggang keluar begitu saja. Ya, cowok brengsek itu, pergi begitu saja. Kayak nggak terjadi apa-apa.

1 Desember 2004, 20:00, di Taman Kota
Frank dan aku sudah janjian ketemu di taman kota. Dan ia sudah datang bahkan sebelum aku berangkat. Aku yang memanggil dia. Untuk membereskan masalah memuakkan ini, tentu saja. Tapi aku nggak mengatakan itu (kalau aku bilang, dia nggak bakalan datang).
"Aku mau putus," ujarku.
"Dengan Paul? Wah, itu bagus. Dia nggak mencintaimu, sudah kukatakan berkali-kali, kan? Lihat saja, nggak bisa menghubungimu dan nggak berusaha! Pacar macam apa itu?" Frank terus mencerocos sambil menyeringai. Ingin aku menjejalkan apa saja yang menjijikkan ke mulut besarnya itu. "Putuskan saja dia, aku mendukungmu."
"Tutup mulutmu, bajingan keparat!" umpatku. "Omong kosong semua! Paul nggak bisa menghubungiku gara-gara nomorku diblokir; gara-gara handphone-ku dimusnahkan! Dan itu karena siapa? Karena KAU, Frank! Kau dengar itu?" Aku berhenti sebentar untuk mengambil napas (sekarang si cowok brengsek sedang melongo). "Bajingan keparat..." ulangku.
Frank segera mengubah ekspresi bodohnya dengan kernyitan jengkel. "Ngomong dengan dirimu sendiri! Yang bajingan keparat itu KAU! (Lihat? Frank selalu memutarbalikkan fakta. Geez, KENAPA sih dia nggak punya hobi lain??) Kau sudah punya Paul—kita sudah sama-sama tahu—tapi kau tetap mau jadian denganKU! Sekarang siapa yang bajingan keparat, coba? Aku sudah bilang, itu KAU!" Ludahnya muncrat ke wajahku.
Mungkin Frank benar (setidaknya aku MEMANG bilang 'ya' waktu dia mengajakku jadian. Tapi itu kan salah satu bentuk pemaksaan. Ingat, dia mengancam akan mengambil handphone-ku, lho). Mungkin aku memang mengingkari perjanjian. Aku bajingan. Sedikit.
"Kau boleh melakukan pembelaan diri. Kalau kau merasa kau itu nggak keparat, silahkan saja mengelak. Mungkin bisa aku pertimbangkan," kata Frank mengejek. "Kalau kau merasa pintar, tentu saja."
Aku kalah telak. Aku nggak bisa bilang apa-apa, bahkan untuk membela diriku sendiri. Kalau kupikir-pikir lagi, aku bukan hanya bajingan keparat. Aku pecundang-bajingan-keparat-yang-paling-menyedihkan-seantero-jagad. Astaga, inikah yang namanya "terjebak karena perbuatan sendiri"?
"Jangan diam, Mary. Aku kan sudah mengizinkanmu angkat bicara. Ayo, katakan apa saja, akan aku dengarkan."
"Orang lainlah yang punya andil untuk membela seseorang," ujar sebuah suara—yang sangat aku kenal. "Dan orang lain itu AKU."
PAUL muncul di hadapanku. Ya, PAUL. Berdiri di antara Frank dan aku. PAUL DI SINI!
"Kau jalang brengsek, siapa namamu?" tanya Paul pada Frank. "Jangan ganggu Mary, dia cewekku." Ia menatapku sekilas sambil tersenyum, lalu kembali memelototi Frank. "Ngomong-ngomong, kau belum menjawab pertanyaanku. Siapa kau?"
Frank menelan ludah. Dia tahu cowok yang sedang memelototi dia itu Paul. Sekarang, Frank-lah yang "terjebak karena perbuatan sendiri". Aku menang. Well, belum, sih.
"Nggak mau jawab juga oke. Sebenarnya aku nggak peduli sedikit pun siapa kau, dasar monyet sialan. Dan aku minta sekarang juga kau pergi dari sini. Pergilah jauh-jauh. Aku nggak suka kau mengusik Mary," kata Paul dengan tegas. "Pergi."
Frank menampakkan ekspresi yang nggak jelas. Aku nggak tahu dia sedang marah, terhina, atau apa. Tapi yang jelas dia sudah nggak menyeramkan lagi bagiku. Tiba-tiba dia mengacungkan jari tengahnya—entah pada Paul atau aku, nggak jadi masalah—dan angkat kaki. Sebelum menghilang bersama motor besarnya yang berisik, ia sempat berkata: "Awas kau."
Paul memandangku. Aku angkat bahu.
Ternyata begitu saja! Semudah ini? Paul datang dan aku selamat! Astaga, bahkan Frank langsung menghilang dalam sekejap! Ini mimpi bukan sih?
"Aku senang melihatmu baik-baik saja, Mary. Nggak kusangka ada cowok begitu..." Paul memelukku lembut. Ini bukan mimpi!
Sejenak aku bingung antara tertawa atau menangis. Tertawa lega dan menangis lega, maksudku. "Kapan kau pulang, Paul?" tanyaku senang (akhirnya aku memutuskan nggak tertawa atau pun menangis, toh Paul nggak peduli. Dia kan selalu tanpa ekspresi).
Paul memandangku bingung (aku ralat. Paul cuma punya dua macam ekspresi: lembut atau bingung). "Kemarin sore. Aku kan sudah bilang—Oh yeah, kau nggak pernah membalas SMS atau teleponku. Kau ini kenapa, sih?"
"Well, begini. Frank—cowok yang kausebut 'monyet sialan' tadi—memblokir nomorku," jawabku ragu-ragu. Lalu kuputuskan menceritakan saja semuanya.
"Ya ampun. Lalu kenapa kau nggak mau—Astaga, aku baru ingat kalau handphone-lah satu-satunya alat komunikasi kita! Maaf deh, aku nggak tahu apa-apa, aku ini memang payah." Paul mempererat pelukannya. "Maaf, Mary."
"Daripada itu, katakan dari mana kau tahu aku di sini," ujarku. (Payah banget. Harusnya aku kan mengatakan kata-kata romantis! Dasar bego.)
Paul tersenyum. "Insting," katanya sambil mengetukkan jarinya di keningku. Setelah melihat wajah bengongku, dia segera menambahkan: "Astaga, aku cuma bercanda! Ayolah, Mary, nggak ada yang namanya insting! Well, ada sih, tapi aku tahu kau di sini bukan karena insting. Ini kebetulan. Aku sedang dalam perjalanan ke rumahmu, dan kebetulan lewat sini. Untung saja aku melihatmu, kalau nggak..." Ia sengaja membiarkan kata-katanya mengambang. "Oke, kita pulang sekarang."
Aku segera menyelipkan tanganku dalam genggamannya. "Ayo," timpalku. Kami—berdua bergandengan tangan—menuju mobil Paul. Sudah lama sekali nggak kurasakan kebersamaan ini. Hari ini kami bisa bertemu setelah sekian lama, itu anugerah terbesar bagiku.
Aku mencintai Paul.
"Paul?" panggilku. Ia tengah membukakan pintu mobilnya untukku.
"Ada apa?" tanya Paul. Lagi-lagi tanpa ekspresi. Tapi aku tahu ia ingin tahu apa yang mau aku katakan.
"Jangan berpaling dariku."
Paul bingung. "Tentu saja," cetusnya setelah beberapa lama. "Harusnya aku yang bilang begitu, kan?" Ia tertawa. "Kita pacaran. Kau nggak boleh naksir cowok lain; begitu juga aku."
Beberapa detik kemudian, kami berdua sudah berada di dalam mobil Paul. Ia sedang menyalakan mesinnya. "Kalaupun boleh, aku nggak bakal naksir cewek lain. Aku janji. Kau cewekku satu-satunya."
Aku menangis dan tertawa bersamaan. Aku bahagia. Malam ini tampak begitu menyenangkan. Berarti aku kan nggak perlu khawatir dia mendua walaupun kami terpisah (Paul bilang bulan depan dia sudah harus balik ke Birmingham)? Astaga, aku memang cewek paling beruntung ya!
Iya nggak sih?
Well, aku harap begitu.


© ^RaN^
Februari 2006

Comments

Popular Posts