LPS untuk terapi HIV
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune-deficiency Syndrome (AIDS) adalah masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari jumlah kasus HIV-AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya terus meningkat signifikan. Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah orang dengan HIV-AIDS (ODHA) pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV yaitu para penjaja seks komersial dan penyalah-guna NAPZA suntikan di beberapa provinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur sehingga provinsi tersebut tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of epidemic). Tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized epidemic). Hasil estimasi tahun 2009, di Indonesia terdapat 186.000 orang dengan HIV positif (Kemenkes RI, Ditjen P2PL, 2012)
Di Tanah Papua HIV sudah masuk ke
dalam epidemi masyarakat (generalized epidemic) dengan prevalensi HIV di
populasi dewasa sebesar 2,4%. Sedangkan di banyak tempat lainnya dalam kategori
terkonsentrasi, dengan prevalensi HIV >5% pada populasi kunci. Namun, saat
ini sudah diwaspadai telah terjadi penularan HIV yang meningkat melalui jalur
parental (ibu kepada anaknya), terutama di beberapa ibu kota provinsi. Jumlah
kasus kematian akibat AIDS di Indonesia diperkirakan mencapai 5.500 jiwa.
Epidemi tersebut terutama terkonsentrasi di kalangan pengguna obat terlarang
melalui jarum suntik dan pasangannya. (Kemenkes
RI, Ditjen P2PL, 2012)
Di seluruh dunia pada tahun 2013 ada 35 juta
orang hidup dengan HIV yang meliputi 16 juta perempuan dan 3,2 juta anak
berusia <15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,5 juta yang
terdiri 1,3 juta dewasa dan 190.000 anak berusia <15 tahun. Berdasarkan kelompok kelompok berisiko, kasus
AIDS di Indonesia paling banyak terjadi pada kelompok heteroseksual (61,5%),
diikuti pengguna narkoba injeksi (IDU) sebesar 15,2%, dan homoseksual (2,4%),
Faktor resiko tidak diketahui sebesar 17,1%. (Ditjen P2PL Kemenkes RI,
2014)
Human
immunodeficiency virus
(HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi, menghancurkan atau merusak fungsi
sel-sel dari sistem kekebalan tubuh yaitu CD4 .
Pada saat infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan
orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi.HIV dapat berkembang menjadi
stadium Acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS) perlu waktu 5 sampai 10 tahun, dan terbukti obat antiretroviral (ARV) adalah salah satu dapat memperlambat
proses progresifitasnya. HIV ditularkan melalui hubungan seks yang tidak aman
baik secara anal maupun vaginal, transfusi darah yang terkontaminasi,
menggunakan jarum bersama pada pengguna narkoba , transmisi dari ibu ke bayinya
selama kehamilan, melahirkan dan menyusui. (WHO 2013)
Adanya LPS dari tumbuhan yang dikatakan dapat menghambat
replikasi HIV merupakan hal yang tak kalah menariknya, karena disamping
persediaannya berlimpah juga dikatakan lebih stabil. Adanya penelitian menunjukkan penghambatan virus mumps dan virus
influenza B oleh polisakarida dari ganggang laut telah memperkenalkan
polisakarida yang berasal dari alga sebagai sumber agen antiviral yang
potensial (Azin A et al ,
2015).
Produk
yang berasal dari alga banyak digunakan di berbagai industri, termasuk industri
pertanian, biomedis, makanan, dan farmasi. Di antara kandungan kimia yang
diisolasi dari alga, polisakarida memiliki senyawa yang paling cukup dikenal,
yang dikenai berbagai penelitian karena bioaktifitas yang luas. Selama beberapa
dekade terakhir, hasil yang menjanjikan untuk potensi antivirus dari
polisakarida yang berasal dari alga telah menjadikan mereka sebagai kandidat
yang lebih besar untuk penelitian farmasi. Sejumlah penelitian telah
mengisolasi berbagai polisakarida alga yang memiliki aktivitas antivirus,
termasuk karaginan, alginat, fucan, laminaran, dan naviculan. Selain itu,
mekanisme tindakan yang berbeda telah dilaporkan untuk polisakarida ini,
seperti menghambat pengikatan atau internalisasi virus ke dalam sel inang atau
menekan replikasi DNA dan sintesis protein (Azin A et al, 2015).
Virus dan
derivat virus dsRNA adalah aktivator interferon
regulatory factor3 (IRF-3), yang mengarah pada tahap awal induksi IFN-β.
Ligan dsRNA TLR3 juga mengaktifkan jalur sinyal MyD88-independen, di mana IRF-3 memainkan peran kunci (Hirsch VM, 2009).
Aktivasi monosit / makrofag yang dipicu LPS bakteri yang
dimediasi melalui Toll Like receptor 4 (TLR4) sudah diketahui. Telah dilaporkan
bahwa LPS menekan infeksi HIV-1 yang produktif pada makrofag primer secara in
vitro. Mekanisme yang terlibat meliputi penguraian HIV yang dipicu oleh LPS,
regulasi turunan HIV yang terus-menerus, CCR5 yang merangsang sekresi
interferon tipe I (IFN), yang memiliki aktivitas antiviral nonspesifik; dan penghambatan
transkripsi provirus HIV (Hirsch VM, 2009).
Sebuah analisis
menunjukkan bahwa gen interferon (IFN) yang dapat diinduksi, seperti IP-10 dan
GARG16, diinduksi dalam menanggapi LPS dari sel MyD88 knouckout. Penelitian selanjutnya jelas menunjukkan bahwa ada jalur
MyD88-independen serta jalur MyD88-dependen dalam sinyal TLRs. Dalam jalur
MyD88-independen, stimulasi LPS menyebabkan aktivasi faktor transkripsi IRF-3,
dan dengan demikian menginduksi IFN-β. IFN-β, pada gilirannya, mengaktifkan
Stat1, menyebabkan induksi beberapa gen IFN-inducible
(Hirsch VM, 2009).
Comments
Post a Comment