Psikoneuroimunologi

 

Journal Reading

Psikoneuroimunologi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Oleh:

Dody Wahyu

Mahendra B. S.

Septian R.

Najmulhadi

Dewi Sri

 

 

 

 

Pembimbing:

dr. Happy Indah, SpKJ

 

 

 

LAB/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA

RSU DR. SAIFUL ANWAR MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2011

BAB 1

PENDAHULUAN

 

Dalam beberapa dekade terakhir, terdapat peningkatan dalam hubungan antara stress psikologi dan berbagai macam kondisi kesehatan. Suatu bukti mengesankan adanya hubungan antara sistem imun, sistem saraf pusat (CNS) dan sistem endokrin, di mana sistem ini dapat dipengaruhi oleh faktor sosial dan psikologi. Pada 1964, Solomon dkk mempublikasikan sebuah artikel berjudul "emotion, immunity and disease: a speculative theoretical integration" yang menjadi dasar perkembangan penelitian tentang psikoneuroimunologi (PNI) (Ho, et al., 2010).

            PNI adalah sebuah bidang ilmu yang meneliti hubungan antara stres, sistem imun dan kesehatan. Stres dapat menurunkan respon neuroendokrin dan pada akhirnya menyebabkan kegagalan fungsi imun. Peristiwa traumatik dapat merusak aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) dan sistem saraf simpatis (SNS), merangsang tingkat keseriusan yang lebih tinggi, dan timbulnya penyakit yang mengancam nyawa, termasuk penyakit jantung. Secara spesifik, peristiwa trauma kehidupan memicu sistem respon inflamasi untuk bereaksi lebih cepat terhadap stress kehidupan berikutnya, dan menyebabkan inflamasi berperan sebagai etiologi dalam banyak penyakit kronis (Ho, et al., 2010).

Studi pada pasien psikiatri melaporkan adanya gangguan imunitas pada pasien psikosis, termasuk jumlah limfosit dan lemahnya respon antibodi terhadap vaksin pertusis, dibandingkan dengan kontrol (Kiecolt-Glaser, et al., 2002). Dala studi yang lain ditunjukkan bahwa behavioral conditioning pada manusia dapat menimbulkan efek imunologis yang menyerupai obat imunosupresan. Efek spesifik dari terapi ini ditunjukkan pada ekspresi gen seluler, produksi sitokin intra dan ekstraselular oleh limfosit T teraktivasi (Goebel, et al., 2002).

            Studi epidemiologi mengindikasikan bahwa faktor psikososial berkaitan dengan perkembangan penyakit arteri koroner (CAD) dan meningkatkan resiko disfungsi jantung dan serangan jantung. Hal ini menunjukkan bahwa stres mental penting dalam menentukan perjalanan iskemi. Stres psikologi akut dapat disebabkan oleh stress emosional jangka pendek dan kemarahan yang intens. Stres psikologi kronik disebabkan oleh status sosioekonomi rendah, stres pekerjaan, isolasi sosial, tekanan, kecemasan dan permusuhan. Dalam makalah ini akan dibahas beberapa penelitian yang menunjukkan peran faktor psikologi, progresi CAD, dan fungsi imun. Hal ini mengantarkan klinisi untuk memahami pentingnya kekebalan sebagai sebuah hubungan antara pikiran dan sistem kardiovaskuler. Di samping itu, hal ini juga menyediakan dasar pembangunan sebuah model stres integratif untuk mencegah CAD dengan menjaga kesehatan mental (Ho, et al., 2010).

 

BAB 2

PEMBAHASAN

 

Stres merangsang kemotaksis melalui perubahan fungsi endotel


            Stres psikologi mengaktivasi SNS yang mengatur denyut jantung dan pelepasan katekolamin  serta HPA aksis yang mengatur pelepasan kortikosteroid dari kelenjar adrenal. Pada stres psikologi akut, katekolamin secara dominan mempengaruhi sirkulasi sel NK. Hubungan antara stres akut, SNS dan leukosit diilustrasikan dalam gambar 1. Pada stres kronik, aktivitas HPA aksis dapat berkurang sehingga menyebabkan kelelahan dan peningkatan aktivasi inflamasi yang dimediasi oleh imun (Ho, et al., 2010).


            Lebih jauh, stimulasi reseptor Beta adrenergik merangsang perubahan ekspresi molekul sel adhesi (Gbr. 2). Pada stress psikologi ringan, CD62L sel NK dengan L-selectin (CD62 ligand) menempel lemah ke sel endotel yang mengekspresikan reseptor molekul adhesi. Pada stres psikologi berat, L-selectin dari sel NK tidak berperan menggerakkan dan CD62 sel NK akan ditahan di tepi pembuluh darah atau jaringan di luar pembuluh darah. CD62 sel NK tanpa L-selectin akan dimobilisasi. Konsentrasi molekul adhesi seperti ICAM 1 dan CD11a akan meningkat pada stres psikologi berat. Peningkatan konsentrasi molekul adhesi menyebabkan CD62 sel NK menghentikan gerakannya dan menempel pada tempat berkumpulnya molekul adhesi. Disfungsi endotel juga menyebabkan perekrutan dan penempelan limfosit T dan platelet. Aktivasi sel T pada gilirannya menghasilkan sitokin proinflamasi, seperti faktor nekrosis tumor-alfa (TNF alfa), interleukin (IL)-1 dan IL-6 yang menstimulasi makrofag dan sel endotel pembuluh darah untuk meningkatkan proses inflamasi. Pada akhirnya hal ini akan merangsang kondisi atherosclerosis dini di mana makrofag dan sel imunokompeten lainnya menyebabkan inflamasi lokal dan pembentukan plak. Pembentukan trombus lokal menghasilkan serotonin, tromboxan A2, dan thrombin yang menyebabkan vasokonstriksi dan kemudian merangsang sindrom koroner akut (ACS) dengan rupturnya plak. Protein fase akut seperti C-reactive protein (CRP) merangsang otot polos dan sel endothelial mengelilingi plak arteri koroner, menghasilkan lebih banyak sitokin proinflamasi dan memicu ekspresi molekul adhesi yang lebih banyak. CRP diprediksi merupakan faktor prognostik buruk dalam ACS yang tidak bergantung beratnya atherosclerosis dan dihubungkan secara signifikan dengan gagal jantung kongesti (CHF) (Ho, et al., 2010).

 

Stres merangsang penyakit arteri koroner melalui perubahan pada monosit dan sitokin


            Gambar 3 menunjukkan peran limfosit dan sitokin dalam perkembangan CAD pada stres akut dan kondisi kesepian. Status sosioekonomi rendah dapat meningkatkan resiko CAD melalui inflamasi dan aktivasi imun. Status sosioekonomi rendah dihubungkan dengan jumlah total sel NK dan limfosit T dan B yang lebih tinggi di dalam sirkulasi. Dopp dkk menyatakan bahwa pergantian pertukaran subset limfosit spesifik merupakan sebuah komponen kesatuan dari stress akut. Selama stres psikologi akut, persentase sel NK dan sel T sitotoksik CD8 di sirkulasi meningkat, sedangkan sel NK dan sel T CD4 sirkulasi yang mengekspresikan L-selectin berkurang. Stres psikologi akut mengurangi respons proliferasi mitogen, utamanya fitohemaglutinin (PHA) (Ho, et al., 2010).

            Owen dan Steptoe mempelajari hubungan antara sel NK, kepekaan stress sitokin proinflamasi, dan denyut jantung manusia. Peningkatan jumlah sel NK yang mengikuti stres berhubungan dengan peningkatan denyut jantung dan perbedaan individual dalam respon pengendalian simpatis berhubungan dengan NK dan respon sitokin proinflamasi pada stres psikologi (Ho, et al., 2010).

            Sebuah stresor psikologi akut meningkatkan sitokin proinflamasi, termasuk sel mononuclear ekspresi gen IL-1B dan plasma interleukin 6 (IL-6). Peningkatan ekspresi gen IL-1B dihubungkan secara positif dengan denyut jantung dan peningkatan tekanan darah sistol. Sitokin juga mempengaruhi otak dan menimbulkan perasaan malas, sakit dan lemah. Sitokin ini dapat merangsang proliferasi dan perpindahan sel otot polos melalui rangsangan faktor pertumbuhan lainnya yang memicu lesi koroner. Mann menyatakan bahwa ekspresi jangka pendek aktivasi sitokin pada jantung mungkin menjadi sebuah respons adaptif untuk stres, sebaliknya ekspresi jangka panjang dari molekul ini menimbulkan respon maladaptif yaitu dekompensasi jantung. Cesari dkk menemukan bahwa sitokin proinflamasi merupakan faktor prediktif serangan jantung pada orang tua. Sebagai contoh, IL-6 dihubungkan secara signifikan dengan CAD, stroke dan gagal jantung kongesti (CHF) dan merupakan prediktor independen kuat dalam meningkatkan kematian pada CAD yang tidak stabil. Sebagai tambahan, TNF alfa juga menunjukkan hubungan signifikan dengan CAD. Secara keseluruhan, kadar sitokin seperti IL-6 dan TNF alfa mungkin menjadi prediktor yang lebih kuat dalam peristiwa kardiovaskuler daripada protein fase akut seperti CRP (Ho, et al., 2010).

 

Efek stres pada pembekuan darah dan atherosklerosis


            Gambar 4 menunjukkan hubungan antara stres dan pembekuan. Stres psikologi akut meningkatkan faktor hemostasis seperti factor von Willebrand. Keadaan sosial dan faktor psikososial yang buruk pada masa anak-anak meningkatkan konsentrasi protein fase akut seperti plasma fibrinogen pada masa dewasa dan meningkatkan resiko CAD di kemudian hari. Kondisi kesepian juga menunjukkan respon fibrinogen lebih besar terhadap stress. Stresor psikososial kronik meningkatkan faktor hemostatik (factor VII) dan protein fase akut (fibrinogen). Fibrinogen dapat meningkatkan atherosklerosis dengan peningkatan agregasi platelet, peningkatan pelepasan faktor pertumbuhan yang diturunkan endotel (Endothelial-derived growth factor), merangsang proliferasi sel otot polos dan peningkatan viskositas darah. Stres akut dan kronis dapat mengaktivasi kaskade koagulasi dan merangsang pembentukan thrombus dan miokard infark (MI). Terdapat bukti kuat dari studi epidemiologi dan metaanalisis bahwa protein fase akut seperti CRP dan fibrinogen memprediksi mortalitas kardiovaskuler di masa depan dan berhubungan dengan status sosioekonomi rendah. Stres psikologi dihubungkan dengan meningkatnya aktivasi platelet dan meningkatnya resiko penyakit kardiovaskuler (Ho, et al., 2010).

 

Faktor psikososial pada gagal jantung

Depresi

Dalam penelitian tentang depresi dan miokard infark, ditemukan bahwa prevalensi depresi pada pasien miokard infark lebih tinggi daripada populasi sehat. Namun beberapa peneliti menyatakan bahwa depresi itu sendiri merupakan faktor resiko mortalitas akibat serangan jantung. Selain itu, depresi mungkin berkontribusi dalam tingkat readmisi pasien CHF. Depresi major berkaitan dengan noncompliance terapi pada pasien penyakit jantung yang muda, sakit kronis, cacat, dan usia lanjut. Noncompliance pada regimen terapi merupakan faktor presipitasi readmisi pada CHF. Namun demikian, hal yang jarang diperhatikan adalah gejala somatik depresi yaitu kelelahan dan insomnia, yang juga merupakan gejala CHF (MacMahon and Lip, 2002).

Gejala depresi seperti kelelahan dan iritabilitas adalah prekursor utama dari CAD rekuren. Selain itu, penyelidikan detail sudah menunjukkan bahwa gejala biologi dari depresi seperti kelelahan dihubungkan dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan peningkatan penyakit pembuluh darah (Ho, et al., 2010).

            Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Chlamydia pneumonia memainkan peran dalam atherosklerosis dan dihubungkan dengan tingginya resiko CAD. Pada sebuah studi, gejala depresi dikaitkan dengan reaktivasi virus laten dan inflamasi pembuluh darah koroner. Perbedaan level serum IgG Anti Chlamydia pneumonia antara kelompok yang mengalami depresi dan kelompok kontrol hampir signifikan. Hal ini memerlukan studi lebih jauh mengenai pengaruh stress lama dalam aktivasi Chlamydia pneumonia, yang mungkin memperkuat resiko CAD (Ho, et al., 2010).

Terdapat bukti yang nyata bahwa depresi dan kecemasan meningkatkan produksi sitokin proinflamasi termasuk IL-6. Di samping itu, gejala depresi dapat menyebabkan disregulasi imunitas dan menimbulkan konsekuensi kesehatan. Misalnya, gejala depresi berkaitan dengan rendahnya jumlah limfosit T CD8 dan tingginya rekurensi HSV-2 genital dalam 6 bulan. Gejala depresi pada pasien HIV positif berhubungan dengan rendahnya CD4, tingginya jumlah sel B dan meningkatnya marker aktivasi imun (HLA-DR) bahkan bila perilaku kesehatan dan stadium penyakit terkontrol. Pasien gangguan kecemasan juga berhubungan dengan perubahan imun. Sebagai contoh, pada pasien dengan gangguan kecemasan menyeluruh, penurunan ekspresi receptor IL-2 oleh limfosit berhubungan dengan pikiran intrusif yang lebih berat dan lamanya sakit karena infeksi saluran napas atas (Kiecolt-Glaser, et al., 2002).

Kecemasan

Kecemasan memberikan prognosis buruk pada gagal jantung karena menimbulkan kesulitan pada pasien dan yang merawatnya. Kecemasan dapat berpengaruh negative terhadap curah jantung pasien CHF. Stres dapat meningkatkan denyut jantung, yang memberikan efek negatif pada perfusi arteri koroner karena fase diastole yang lebih singkat. Takikardi mengurangi supply oksigen miokard, namun meningkatkan kebutuhan oksigen miokard. Hal ini dapat menimbulkan lingkaran setan, di mana pasien menjadi lebih memikirkan kondisinya sehingga makin meningkatkan kecemasan dan menurunkan curah jantung. Hubungan kemampuan fisik dan kecemasan perlu diperhatikan dalam proses rehabilitasi (MacMahon and Lip, 2002).

 

Peranan dukungan sosial

Pengaruh depresi dan kecemasan pada pasien CHF dapat dikendalikan oleh dukungan sosial pada pasien. Banyak bukti yang menunjukkan efek protektif dukungan sosial pada pasien CHF (MacMahon and Lip, 2002).

Perilaku kesehatan juga merupakan kofaktor hubungan antara psikopatologi dan fungsi imun, misalnya merokok memiliki efek sinergis dengan depresi dalam menurunkan lisis sel NK dan penurunan aktivitas fisik memediasi hubungan antara depresi dan proliferasi limfosit. Pada pasien depresi, indikator gangguan tidur yang merupakan karakteristik depresi memiliki berbagai konsekuensi imunologis (Kiecolt-Glaser, et al., 2002).

 

Mekanisme pembelaan ego

Beberapa bukti menunjukkan bahwa cara seseorang mengatasi situasi hidup negative atau penuh tekanan mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologinya. Peneliti menyatakan bahwa mekanisme pembelaan ego memediasi kondisi stres dengan konsekuensinya seperti depresi dan kecemasan.

Penyakit kronis yang menimbulkan kecacatan seperti CHF dapat menimbulkan stress dan pasien dapat melakukan mekanisme pembelaan ego untuk mengatasi stress ini (MacMahon and Lip, 2002).

Mekanisme pembelaan ego yang berhubungan dengan gangguan imun meliputi represi, penyangkalan, escape-avoidance, dan concealment. Mekanisme pembelaan ego represi yang hebat berhubungan dengan rendahnya jumlah monosit, tingginya jumlah eosinofil, tingginya glukosa serum, banyaknya reaksi terhadap obat, tingginya titer antibody EBV, penurunan respon sel T memori terhadap virus laten (Kiecolt-Glaser, et al., 2002).

Pada anggota keluarga pasien transplantasi sumsum tulang, kecemasan dengan mekanisme pembelaan ego escape-avoidance berkaitan dengan jumlah total sel T dan CD4 yang lebih sedikit serta jumlah sel B yang lebih banyak. Mekanisme pembelaan ego penyangkalan memiliki efek protektif berkaitan dengan serostatus HIV pada pasien HIV seronegatif. Mekanisme pembelaan ego penyangkalan berhubungan dengan berkurangnya pikiran intrusif, rendahnya kortisol dan tingginya proliferasi limfosit (Kiecolt-Glaser, et al., 2002).

 

           

 

 

 

BAB 3

KESIMPULAN

 

Dalam pembahasan tentang psikoneuroimunologi (PIN) dalam memahami peran stresor psikologi akut dan kronis pada sistem kekebalan dan perkembangan penyakit arteri koroner (CAD), dapat disimpulkan sebagai berikut.

  1. PNI mengilustrasikan bagaimana stres psikologi merubah fungsi endotel dan merangsang kemotaksis.
  2. Stres psikologi akut merangsang leukositosis, meningkatkan sitotoksisitas sel NK dan mengurangi respons proliferasi mitogen, sedangkan stres psikologi kronik dapat menimbulkan efek buruk bagi kesehatan yang menghasilkan perubahan dalam fungsi kardiovaskuler dan perkembangan CAD.
  3. Stres psikologi akut dan kronis akan meningkatkan faktor hemostasis dan protein fase akut yang dapat merangsang pembentukan thrombus dan miokard infark.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Goebel, MU, Trebst, AE, Steiner, J, Xie, YF, Exton, MS, Frede, S., Canbay, AE, Michel, MC, Heemann, U., Schedlowski, M. 2002. "Behavioral conditioning of immunosuppression is possible in humans" The FASEB Journal (16): 1869-1873.

 

Ho, RCM, Neo, LF, Chua, ANC, Cheak, AAC, Mak, A. 2010. "Research on Psychoneuroimmunology: Does Stress Influence Immunity and Cause Coronary Artery Disease?" Ann Acad Med Singapore (39): 191-196.

 

Kiecolt-Glaser, JK, Mcguire, L., Robles, TF, Glaser, R. 2002. "Psychoneuroimmunology and Psychosomatic Medicine: Back to the Future" Psychosomatic Medicine (64):15–28.

 

MacMahon, KMA, Lip, GYH. 2002. "Psychological Factors in Heart Failure" Arch Intern Med. (162):509-516.

 

 --

Shigenoi Haruki

Comments

Popular Posts