REFRESHING

Diagnosis dan Penatalaksanaan Infeksi Helicobacter pylori pada Anak

 

Oleh:

Dewi Sri Wulandari                                    0610710031
Rizka Adriana                                              0610713066

Vienna Kamantania Nugroho                 0610710134

Faizanah Bt Mohd Shaul Hameed         0610714009

 

 


Pembimbing :

dr.
Satrio Wibowo, Sp.A., M.Si., Med.

 

 

 

 

 

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT SAIFUL ANWAR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2011

BAB 1

PENDAHULUAN

 

1.1          Latar Belakang

Helicobacter pylori adalah bakteri yang dapat berkoloni pada saluran cerna manusia dan merupakan salah satu penyebab ulkus duodenum dan gaster, atau salah satu faktor penyebab keganasan lambung. Infeksi didapatkan per oral dan sebagian besar ditularkan antar anggota keluarga pada saat masa kanak-kanak.

Prevalensi Helicobacter pylori di negara berkembang dilaporkan lebih tinggi dibandingkan negara maju. Pada negara berkembang dilaporkan prevalensi Helicobacter pylori pada anak berkisar 30-80% dan di negara maju diperkirakan sebesar 10%. Penelitian dilakukan oleh Hegar pada tahun 1999 di Jakarta, prevalensi infeksi Helicobacter pylori berdasarkan pemeriksaan serologi didapatkan angka sebesar 27%. Di Surabaya belum didapatkan data prevalensi yang pasti tentang infeksi Helicobacter pylori.

Manifestasi klinis yang sering terjadi adalah gangguan saluan cerna seperti muntah, mual, diare, nyeri perut dan lain-lain. Infeksi Helicobacter pylori pada anak sebagian besar asimptomatis atau memperlihatkan gejala gangguan saluran cerna yang tidak spesifik. Karena gejala klins yang tidak khas prevalensi tinggi dari penyakit ini, sehingga diagnosis pasti dari penyakit ini adalah berdasar pada biopsi.

Penegakan diagnosis dari infeksi Helicobacter pylori adalah dengan metode invasif dan non-invasif. Pemilihan uji diagnostik sangat bergantung kepada keberadaan alat diagnostik pada suatu pusat pelayanan kesehatan, masalah klinis yang diperlihatkan, dan biaya. Metode invasif meliputi endoskopi dan biopsi yang diikuti dengan pemeriksaan histologi, biakan uji urease, dan PCR. Sedangkan metode non-invasif meliputi uji serologi dan uji C-urea napas.

Kuman Helicobacter pylori ini sangat cocok hidup dalam suasana, maka apabila sekresi asam menurun, misalnya pada  gastritis atrofik atau pemberian obat-obat antisekretorik seperti penghambat pompa proton (PPP), kolonisasi Helicobacter pylori juga akan berkurang. Kenyataan ini dipakai sebagai acuan dalam upaya pemberantasan atau eradikasi kuman Helicobacter pylori.

 

 

1.2          Rumusan Masalah

1.    Bagaimana karakteristik bakteri Helicobacter pylori?

2.    Bagaimana epidemiologi dan faktor resiko terjadinya infeksi Helicobacter pylori?

3.    Bagaimana patogenesis infeksi Helicobacter pylori?

4.    Bagaimana manifestasi klinik infeksi Helicobacter pylori?

5.    Bagaimana penegakan diagnosis infeksi Helicobacter pylori?

6.    Bagaimana penatalaksanaan infeksi Helicobacter pylori?

7.    Bagaimana komplikasi infeksi Helicobacter pylori?

8.    Bagaimana prognosis infeksi Helicobacter pylori?

 

1.3          Tujuan

1.    Mengetahui karakteristik bakteri Helicobacter pylori.

2.    Mengetahui epidemiologi dan faktor resiko terjadinya infeksi Helicobacter pylori.

3.    Mengetahui patogenesis infeksi Helicobacter pylori.

4.    Mengetahui manifestasi klinik infeksi Helicobacter pylori.

5.    Mengetahui penegakan diagnosis infeksi Helicobacter pylori.

6.    Mengetahui penatalaksanaan infeksi Helicobacter pylori.

7.    Mengetahui komplikasi infeksi Helicobacter pylori.

8.    Mengetahui prognosis infeksi Helicobacter pylori.

 

1.4          Manfaat

Penulisan makalah ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan sejawat dokter muda tentang karakteristik, epidemiologi, faktor resiko, patofisiologi, manifestasi klinik, penegakan diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis infeksi Helicobacter pylori yang nantinya akan bermanfaat sebagai bekal dalam praktiknya sebagai dokter umum.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1       Helicobacter pylori  

2.1.1    Sejarah penemuan kuman H. pylori

Adanya kuman berbentuk spiral dalam lambung manusia telah dilaporkan sejak tahun 1875 oleh seorang sarjana Jerman yang mendapatkan kuman berbentuk spiral pada mukosa lambung (Blaser, 2005). Pada tahun 1893, seorang sarjana Italia bernama Giulio Bizzozero melaporkan bakteri berbentuk spiral yang hidup dalam lambung anjing yang bersuasana asam kuat. Hubungan antara kuman spiral tersebut dengan penyakit lambung pertama kali dianjurkan oleh Professor Walery Jaworski dari Polandia yang meneliti kuman yang ditemukan dalam sedimen cairan lambung pada tahun 1899 yang pada waktu itu dinamakan Vibrio rugula. Laporan tersebut tidak mendapat perhatian karena bertentangan dengan dogma yang banyak dianut oleh para dokter bahwa tidak ada kuman yang bisa hidup dalam lambung yang begitu asam suasananya (Soewignjo Soemoharjo, 2009).

Kuman ini ditemukan kembali dan dilaporkan oleh Robin Warren seorang ahli patologi dari Australia pada tahun 1979. Selanjutnya  pada tahun 1981, Warren melanjutkan penelitian tentang kuman tersebut bersama Barry Marshall, seorang residen Penyakit Dalam. Kedua orang tersebut berhasil membiakkan kuman spiral tersebut. Dalam laporan Marshall dan Warren pada tahun 1984 dalam majalah Lancet, mereka telah menyatakan bahwa kebanyakan ulkus lambung dan gastritis disebabkan oleh karena kuman tersebut (Warren dan Marshall, 1984). Dalam usahanya untuk membuktikan bahwa kuman spiral tersebut menyebabkan penyakit lambung, Marshall telah melakukan percobaan terhadap dirinya sendiri. Dia telah menelan kuman H. pylori yang dibiakkan dan beberapa hari kemudian dilakukan endoskopi dan ternyata terjadi gastritis pada lambung Marshall yang disertai dengan adanya kuman H. pylori. Marshall kemudian mengobati dirinya sendiri dengan gabungan garam Bismuth dan Metronidazol selama 2 minggu dan akhirnya bebas dari kuman tersebut. Dalam laporan Warren dan Marshall, kuman lambung berbentuk spiral ini dinamakan Campylobacter pyloridis, dan kemudian dirubah menjadi Campylobacter pylori. Kedua sarjana yang menemukan kembali kuman spiral yang kemudian dinamakan Helicobacter pylori ini telah menerima hadiah nobel dalam ilmu kedokteran pada tahun 2005 (Soewignjo Soemoharjo, 2009).

2.1.2    Epidemiologi

            Helicobacter pylori ini tidak berada di dalam mukosa gaster, tetapi terdapat pada lapisan mukus yang melapisi mukosa. Kuman ini ditemukan hampir di seluruh dunia. Pada negara berkembang, 70-90% populasi pada gasternya terdapat kuman ini, dan sebagian besar mendapatkan infeksinya saat usia kurang dari 10 tahun. Sedangkan pada negara maju, prevalensi infeksi sekitar 25-50%. Prevalensi infeksi Helicobacter pylori berdasarkan pemeriksaan serologi pada 150 murid Sekolah Dasar di Jakarta didapatkan angka sebesar 27% dan 90% dari mereka yang memliki seropositif ditemukan Helicobacter pylori pada lambungnya. Faktor resiko infeksi Helicobacter  pylori diantaranya lahir di negara berkembang, status ekonomi lemah, lingkungan yang padat dan sanitasinya yang kurang bersih, hidup dalam keluarga yang besar, adanya bayi dalam rumah, serta mereka yang sering terpajan dengan isi lambung orang yang terinfeksi Helicobacter pylori (misalnya perawat, ahli endoskopi). Frekuensi Helicobacter pylori sama antara laki-laki dan perempuan (Fardah, 2006).

            Tidak ada reservoir lain untuk Helicobacter pylori selain gaster manusia. Maka transmisi utama kuman ini adalah gaster manusia yang satu ke gaster manusia yang lain. Terdapat 3 kemungkinan cara penularan penyakit ini, yang pertama adalah transmisi fekal-oral, oral-oral yaitu pada saat orang dewasa memberikan makanan pada anaknya, dan kemungkinan yang terakhir adalah iatrogenik pada tube endoskopi yang mengandung Helicobacter pylori (Fardah, 2006).

2.1.3    Taksonomi

Kingdom    : Bacteria

Phylum      : Proteobacteria

Class          : Epsilon Proteobacteria

Order         : Campylobacterales

Family       : Helicobacteraceae

Genus        : Helicobacter

Species      : H. pylori

2.1.4    Morfologi Helicobacter pylori

Helicobacter pylori adalah bakteri Gram negatif, non-spora, berbentuk spiral (curved) atau batang bengkok (spiral rod-shaped), yang hidup secara microaerob, organisme ini mempunyai 7 flagella. Organisme ini mempunyai ukuran tebal 0,6 μm dan panjang  1,5 gelombang panjang, yang mengalami adaptasi untuk dapat hidup dalam mukus (lendir) lambung yang menutupi selaput lendir (mukosa) lambung yang bersuasana asam kuat. Helicobacter pylori dapat tumbuh dengan baik pada suhu 35-37C dan memproduksi enzym catalase, cytochrom oxidase, urease, alkaline phosphatase, dan glutamyl transpeptidase Kuman ini dapat bertahan hidup dalam suasana asam kuat dengan cara memproduksi enzim urease. Enzim urease akan mengubah urea yang ada dalam cairan lambung menjadi amoniak. Tubuh kuman Helicobacter selalu diliputi oleh awan amoniak ini, dan karenanya dapat bertahan terhadap asam lambung (Fardah, 2006).

Gambar 2.1. Helicobacter dilihat dengan mikroskop elektron (Marshall, 2002)

Kuman ini bersifat pleomorfik artinya dapat dijumpai dalam beberapa bentuk. Dalam keadaan normal kuman ini berbentuk spiral atau batang bengkok, tetapi dalam keadaan tertentu yang kurang baik akan merubah dirinya menjadi bentuk kokoid yang merupakan bentuk pertahanan yang resisten (Soewignjo Soemoharjo, 2009).

Kuman ini termasuk kuman mikroaerofilik artinya hanya tumbuh dalam suasana dimana didapatkan oksigen dalam kadar rendah. Kuman ini mati pada suasana dengan kadar oksigen normal, dan mati dalam keadaan anaerobik sempurna (Soewignjo Soemoharjo, 2009).

Genom H. pylori berbentuk sirkuler. Urutan DNA dari genom beberapa strain H. pylori telah berhasil dikerjakan seluruhnya pada tahun 1997. (Tomb et al, 1997) Genom H. pylori terdiri dari 1,7 juta pasang basa dan mengandung 1630 gen, 1576 diantaranya mengkode pembentukan protein.

Sebagian besar pengidap infeksi H. pylori tidak menunjukkan keluhan dan sebagian lagi menderita penyakit lambung. Dalam genom kuman tersebut didapatkan urutan DNA sepanjang 40 kB yang disebut cag pathogenecity island (cag PAI). Cag pathogenecity island ini didalamnya mengandung 40 gen. Cag pathogenecity island didapatkan pada kuman H. pylori yang diisolasi dari penderita dyspepsia dan tidak didapatkan dalam kuman H. pylori yang menimbulkan infeksi tanpa gejala. Pasien dyspepsia yang menderita infeksi H. pylori dengan cag PAI positif biasanya pada pemeriksaan menunjukkan anti-cagA yang positif. (Peters et al, 2001; Nilsson et al, 2003).

Gen cagA mengkode sintesa protein yang merupakan protein utama yang menentukan virulensi kuman H. pylori. Gen cagA mengkode suatu protein yang terdiri dari 1186 asam amino yang disebut protein cag a. Protein cag a ini menyebabkan gangguan fungsi sel-sel lambung. Sedangkan cag PAI mengandung 30 gen salah satu diantaranya gen cag A (Soewignjo Soemoharjo, 2009).

Keragaman genetik kuman H. pylori sangat besar dan jauh lebih besar dibandingkan dengan keragaman genetik manusia. Secara praktis perbedaan genetik antara strain kuman H. pylori dipelajari dengan cara pemeriksaan genotype dari gen cagA maupun gen vacA atau seluruh cag PAI. Dengan cara genotyping tersebut dapat dilihat perbedaan antara strain H. pylori yang diambil pada populasi yang berbeda. Pada populasi yang mengalami migrasi dari satu tempat ke tempat lain yang berbeda ternyata didapatkan genotype H. pylori yang sama (Yamaoka et al, 2000).

2.1.5    Cara membiakkan kuman H. pylori

Teknik pembiakan kuman H. pylori tidak terlalu sulit, tetapi membutuhkan cara dan syarat-syarat khusus yang berbeda dengan kuman lain. Kuman ini adalah kuman mikroaerofilik dan karena itu untuk pembiakan diperlukan suasana mikroaerofilik. Yang paling sering dipakai untuk menumbuhkan kuman H. pylori adalah anaerobic jar dengan katalisator paladium. Kemudian ke dalam jar dimasukkan Campylobacter gas kit ditambah air. Pertumbuhan kuman H. pylori memerlukan suasana yang lembab. Suasana yang hampir serupa dapat dibuat menggunakan anaerobic jar dengan anaerobic gas kit tetapi tanpa katalisator paladium (Soewignjo Soemoharjo, 2009).

Media yang paling sering dipakai adalah lempeng agar darah yang mengandung 7% darah. Karena kuman H. pylori tumbuh lambat supaya tidak kalah dengan pertumbuhan kuman lain yang mungkin ada dalam bahan yang akan dibiakkan maka diberikan suplemen antibiotik yang menekan kuman kontaminan tapi tidak menekan pertumbuhan kuman H. pylori. Yang paling banyak dipakai adalah suplemen Skirrow yang mengandung Trimetroprim, Vankomisin dan Polimiksin-B. Karena Pseudomonas merupakan kuman kontaminan yang sering mengganggu dan yang rupanya mulai kebal terhadap antibiotik dalam suplemen Skirrow maka di laboratorium kami disamping suplemen Skirrow  juga dicampurkan satu antibiotik lagi yaitu Cefsulodin, suatu derivat cephalosporin yang dikhususkan untuk kuman Pseudomonas, karena biakan kuman H. pylori sering terganggu oleh adanya jamur maka sebaiknya ke dalam media ditambahkan Amphotericin B (Fungizone) 5 mg/liter (Soewignjo Soemoharjo, 2009).

Selain suplemen Skirrow suplemen lain yang banyak di pakai adalah suplemen Dent yang terdiri dari Trimetoprim, Vankomisin, Cefsulodin dan Amphotericin B. (Dent et al, 1988). Selain suplemen di atas untuk pembiakan kuman H. pylori dianjurkan penambahan Isovitalex atau Vitox yang berisi asam amino dan vitamin (Soewignjo Soemoharjo, 2009).

Untuk memudahkan identifikasi koloni H. pylori ke dalam medium dapat dicampurkan Triphenyl Tetrazoleum Chloride (TTC) dengan kadar 40 mg/liter. Dengan menambahkan TTC maka koloni H. pylori akan menunjukkan warna kuning keemasan. Medium lain yang dapat dipakai untuk kultur H. pylori adalah medium yang mengandung emulsi kuning telur, medium yang mengandung 0,1% pati jagung (cornstarch), medium yang mengandung 0,2 % arang (charcoal) dll (Westblom, 1991).

2.2       Infeksi Helicobacter pylori

2.2.1    Patogenesis

Bakteri H. pylori memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan lambung. Bakteri ini dapat masuk ke dalam lapisan mucus, kemudian melakukan perlekatan dengan sel epitel, evasi sistem imun, dan akhirnya terjadi kolonisasi dan transmisi persisten (Suerbaum and Michetti, 2002).

Setelah masuk gaster, bakteri ini harus melawan aktivitas asam untuk masuk ke dalam lapisan mukus. Langkah awal penting pada proses infeksi ini adalah motilitas bakteri dan produksi urease. Urease dapat menghidrolisis urea menjadi karbondioksida dan ammonia sehingga H. pylori dapat bertahan pada suasana asam. Aktivitas enzim ini diatur oleh pH-gated urea channel yang terbuka pada suasana asam dan tertutup saat netral (Suerbaum and Michetti, 2002).

Gambar 2.2. Mekanisme proteksi H. pylori terhadap asam lambung (Suerbaum and Michetti, 2002).

H. pylori dapat terikat erat pada sel epitel dengan adanya beberapa komponen yang berada pada permukaan bakteri terutama BabA. Setelah melekat, sebagian besar strain H. pylori dapat memproduksi vacuolating cytotoxin (VacA, suatu eksotoksin). Toksin ini masuk ke dalam membrane sel epitel dan menyebabkan keluarnya bikarbonat dan anion organik yang diperlukan untuk nutrisi bakteri. Selain itu, VacA ini juga mempunyai target pada membrane mitokondria yang menyebabkan terjadinya apoptosis (Suerbaum and Michetti, 2002).

Sebagian besar strain H. pylori mempunyai cag pathogenicity island (cag-PAI), suatu fragmen genomic yang mempunyai 29 gen. Setelah melekat pada sel epitel, cagA ini terfosforilasi dan menyebabkan terjadinya respon seluler dan produksi sitokin oleh sel epitel gaster (Suerbaum and Michetti, 2002).

Gambar 2.3. Peta cag pathogenicity (Suerbaum and Michetti, 2002).

H. pylori menyebabkan continuous gastric inflammation pada setiap individu yang terinfeksi. Respon inflamasi ini terdiri dari rekruitmen netrofil yang kemudian diikuti oleh sel limfosit B dan T, sel plasma, makrofag, dan kemudian terjadi rusaknya epitel. Sel epitel gaster yang terifeksi H. pylori terdapat peningkatan sitokin interleukin-1β, interleukin-2, interleukin-6, interleukin-8, dan tumor necrosis factor. Interleukin-8 merupakan kemokin yang poten untuk aktivasi neutrofil. H. pylori ini juga dapat menyebabkan terjadinya respon humoral sistemik dan mukosa. Produksi antibodi ini tidak menyebabkan eradikasi bakteri tetapi menyebabkan kerusakan jaringan. Sebagian penderita dengan H. pylori memiliki autoantibodi terhadap H/K-ATP-ase sehingga menyebabkan atrofi corpus gaster. Pada saat terjadi inflamasi, apabila respon Th1 lebih dominan akan menyebabkan peningkatan produksi interleukin-18, dan ditambah dengan apoptosis akan menyebabkan infeksi persisten H. pylori (Suerbaum and Michetti, 2002).

Gambar 2.4. Patogenesis infeksi H. pylori (Suerbaum and Michetti, 2002).

2.2.2    Manifestasi Klinik

Dari beberapa data yang dilaporkan menunjukkan bahwa infeksi H. pylori pada anak sebagian besar asimtomatis atau memperlihatkan gejala saluran cerna yang tidak spesifik. Infeksi H. pylori pada anak lebih sering berhubungan dengan gastritis dibanding ulkus peptikum. Secara klinis, sulit membedakan gastritis yang terinfeksi H. pylori dengan yang tidak terinfeksi H. pylori (Suerbaum and Michetti, 2002).

Gambar 2.5. Natural history infeksi H. pylori (Suerbaum and Michetti, 2002).

Keluhan lain yang sering disampaikan oleh anak adalah nyeri di daerah epigastrium, terbangun pada malam hari, dan sering muntah. Sakit perut berulang pada anak dianalogikan dengan dyspepsia non-ulkus pada dewasa. Refluks gastroesofageal dan gagal tumbuh merupakan keadaan lain yang pernah dilaporkan pada anak terinfeksi H. pylori. Gastritis sering memperlihatkan keluhan sakit perut berulang pada anak. Oleh karena itu, sakit perut berulang pada anak oleh beberapa peneliti dianggap sebagai gejala klinis yang berhubungan dengan infeksi H. pylori. 30% anak dengan sakit perut berulang ditemukan bakteri H. pylori di dalam antrumnya, sedangkan hanya 10% anak yang ditemukan bakteri H. pylori di dalam korpusnya. Kejadian ulkus pada anak jarang ditemukan, tetapi apabila ditemukan perlu dipikirkan kemungkinan adanya infeksi H. pylori. Helicobacter pylori ditemukan pada 25% anak dengan ulkus lambung dan 86% pada ulkus duodenum. Beberapa gejala klinis dianggap sebagai alarm symptoms seperti malabsorbsi dengan penurunan berat badan, gangguan pertumbuhan, anemia defisiensi besi, diare berulang, dan malnutrisi. Semua individu yang terkena infeksi kuman ini akan mengalami keradangan lambung yang kronik dan menetap, namun pada sebagian besar kasus tampaknya tidak menimbulkan morbiditas maupun mortalitas yang berarti (Crone and Gold, 2004).

 

2.2.3      Diagnosis

2.2.3.1 Metode Non Invasif

            Tes Serologi merupakan teknik non-infasif pertama yang dipakai untuk mendeteksi anti H. pylori IgG pada serum penderita. Adanya Infeksi mukosa lambung karena H. pylori terjadi peningkatan specific kadar IgG and IgA dalam serum and Peningkatan kadar secretory IgA and IgM dalam perut. Uji serologi sudah banyak digunakan oleh beberapa pusat pelayanan kesehatan. Yang penting dari hal tersebut adalah dengan tes ini kita dapat mendeteksi paparan bakteri ke host tetapi kita tidak dapat mendeteksi secara pasti adanya infeksi yang sedang berlangsung. Kadar antibodi menetap dalam darah dalam jangka waktu panjang sehingga meskipun infeksi H. pylori sudah diobati. Hasil uji serologi tergantung dari antigen H. pylori yang digunakan pada pemeriksaan tersebut. Dianjurkan untuk melakukan uji validitas terhadap pemeriksaan serologi sesuai dengan kondisi masing-masing daerah, karena antigen strain bakteri dari suatu daerah mungkin berbeda dengan bahan yang digunakan pada uji tersebut. Saat ini telah ditemukan uji serologi (ELISA) dengan menggunakan spesimen urin. Hasil yang diperoleh pun sangat akurat, sehingga sangat berguna untuk penapisan infeksi H. pylori. Selain itu, telah ditemukan pula cara mendeteksi antibodi H. pylori di dalam air liur, tetapi nilai sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini masih dianggap terlalu rendah yaitu sebesar 84-93% dan 70-82%. Tes antibodi pada saliva dan urine merupakan salah satu noninvasif tekhnik untuk mendeteksi H. pylori infeksi (Benjamin et al, 2008).

            Uji C-urea nafas didasarkan pada kenyataan bahwa kuman H. pylori memproduksi urease. Urease adalah enzym yang memecah urea menjadi ammonia dan CO2. Urea dengan label C13 atau C14 dimakan oleh penderita dan menyebar melalui mukosa menuju pembuluh darah yang mensupply mukosa dan H. pylori. Ketika sudah mendekati epitel pembuluh darah yang mensupply mukosa beberapa menit kemudian isotop carbondioksida akan tampak pada pernafasan. Uji C urea napas merupakan uji diagnostik yang realibel dan merupakan pilihan pertama dan dapat digunakan sebagai evaluasi terapi. Kedua cara ini mempunyai nilai sensitivitas sebesar 95-98% dan spesifisitas 98-100%.

            Stool antigen test adalah pemeriksaan enzimatik (ELISA) yang dapat mengidentifikasikan antigen H pylori pada feses. Stool antigen test terdiri dari metode poliklonal and monoklonal untuk mendeteksi infeksi juga untuk monitoring pasca terapi H. pylori . Keuntungan pemeriksaan Stool antigen adalah membedakan infeksi aktif H. pylori dengan paparan, pemeriksaan noninvasif, penderita lebih nyaman lebih murah daripada metode lain, mendeteksi antigen secara langsung, dapat digunakan sebagai alat untuk monitoring sebelum dan sesudah terapi dan akurasi lebih >95%.

Tabel 2.1. Akurasi dari tes non invasif

        Dikutip dari: Vakil N, Fendrick A.M.How to test for Helicobacter pylori in 2005.

Cleveland Clinical Journal of Medicine . 2005(72) : 508-514[18]

 

2.2.3.2   Metode invasif

             Pemeriksaan endoskopi direkomendasi untuk dikerjakan pada kasus dengan gejala saluran cerna atas yang dicurigai suatu kelainan organik dan bila ditemukan H. pylori pada pemeriksaan endoskopi, maka pasien harus segera mendapat terapi. Endoskopi merupakan tindakan penting untuk mendapatkan jaringan untuk pemeriksaan histologi, biakan, atau uji urease. Endoskopi UGI dengan biopsi masih merupakan baku emas diagnosis H. pylori.

              Pemeriksaan histopatologi yang dilakukan pada infeksi H. pylori sering dihubungkan dengan gastritis kronis superfisial. Hal ini ditandai dengan infiltrasi sel-sel radang baik mononuklear maupun neutrofil pada sel epitel. Inflamasi yang terjadi bervariasi mulai dari infiltrasi minimal lamina propria sampai inflamasi hebat dengan terbentuknya mikroabses dan reactive epithelial atypia. Inflamasi yang terjadi pada anak lain dengan yang terjadi pada dewasa, pada pemeriksaan endoskopi didapatkan lapisan mukosa dengan granular-granular halus atau nodul-nodul yang apabila dilihat dengan mikroskop berhubungan dengan hiperplasia limfonodular terutama di daerah antrum. Dengan pemeriksaan histopatologi dapat dikenali pula morpfologi H. pylori. Sensitifitas histologi secara umum 90- 95%. Jika biopsi dilakukan pada posisi lebih kurang 2-3 cm dari kurvatura lambung menunjukkan hasil positif lebih dari 90%. Pada pasien yang dicurigai menderita ulkus lambung perlu dilakukan endoskopi untuk membuktikan adanya H. pylori baik secara uji urease atau histologi dan sekaligus untuk menyingkirkan proses keganasan pada lambung. Apabila uji urease dan histologi digunakan sebagai evaluasi hasil eradikasi, maka sebaiknya dilakukan paling cepat 4 minggu setelah terapi selesai.

              Biakan organisme merupakan cara yang terbaik untuk menegakkan diagnosis setiap infeksi bakteri termasuk H. pylori. H. pylori dapat dibiak dari jaringan biopsi lambung dan duodenum. Walaupun demikian, biakan masih dianggap sebagai jenis pemeriksaan yang tidak praktis. Teknik biakan sulit, karena memerlukan suasana media yang mikroaerofilik (5% oksigen dengan 5- 10% CO2) dan memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini yang menjadi hambatan bila digunakan sebagai prosedur rutin. Cara ini umumnya digunakan untuk kepentingan penelitian. Biakan mempunyai dua keuntungan yaitu kegunaan utama biakan adalah menentukan jenis antibiotik yang akan digunakan. Kegunaan lain adalah mengisolasi bahan dengan menggunakan kultur.Pemeriksaan ini tidak diperlukan pada saat awal terapi, tetapi mungkin diperlukan bila terdapat kegagalan eradikasi sebanyak 2 kali.

              Gastric Biopsi test didasarkan pada aktivitas enzim urease yang memecah reagen urea tes untuk membentuk amonia. Uji urease dapat mendeteksi infeksi H. pylori dengan cepat. Uji urease yang dilakukan pada jaringan biopsi lambung akan memperlihatkan perubahan warna media yang digunakan akibat adanya peningkatan pH akibat dicernanya urea oleh urease dan perubahan tersebut dilihat dengan adanya indikator yaitu perubahan phenol red. Uji ini mempunyai nilai spesifisitas yang tinggi, tetapi sangat tergantung pada ketepatan pengambilan sampel jaringan. Nilai diagnostik cara ini dapat ditingkatkan dengan cara menambah jumlah sampel jaringan. Nilai sensitivitas uji urease jaringan biopsi berkurang pada pasien yang mendapat proton pump inhibitor (PPI), antibiotik, atau bismut. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah bakteri, berpindahnya bakteri dari antrum ke korpus, atau terganggunya aktivitas urease. Oleh karena itu, pada pasien yang mendapat obat-obat tersebut, dianjurkan untuk dilakukan pengambilan jaringan biopsi selain diantrum juga di korpus lambung. CLO test (gel test) dikembangkan oleh Marshall, merupakan biopsy urease yang pertama kali yang spesifik untuk H. pylori. CLO tes terdiri dari agar gel yang terdiri dari phenol red dan urea. Tes dapat diinterpretasikan lebih dari 24 jam setelah gastric biopsy ditempatkan pada agar gel. Ada dua tes yang sejenis yaitu Hp fast (gel test) dan PyloriTek (Paper test). Dari keseluruhan alat pemeriksaan mempunyai sesitivitas 88-93% dan dengan spesifisitas 99-100%.

              Polymerase chain reaction merupakan teknik laboratorium yang secara in vitro dapat memproduksi rantai DNA spesifik dalam jumlah yang besar.Spesimen dari PCR dapat diambil dari spesimen biopsi, asam lambung, saliva. Pemeriksan ini dapat mendeteksi strain typing H. pylori dan menghitung jumlah bakteri dalam jaringan biopsi. Nilai sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini tinggi. PCR tidak digunakan secara rutin, tetapi lebih sering digunakan untuk kepentingan penelitian. PCR juga dapat digunakan untuk menentukan strain H. pylori atau resistensi obat yang digunakan untuk eradikasi infeksi H. pylori, dan virulensi bakteri (Fardah et al, 2006)..

 

Table 2.2 . Tes Diagnostik untuk mendeteksi H. pylori

Dikutip dari: Hino B, Eliakim R, Levine A, Sprecher H,.Berkowitz D,Hartman C,.Eshach-Adiv O, Shamir R. Comparison of Invasive and Non-Invasive Test Diagnosis and Monitoring Of Helicobacter Pylori Infection in Children Journal of Pediatrics Gastroenterology, 2004(39):519-523

 

            Kapankah tes-tes diagnostik ini sebaiknya dilakukan ? North American Study for Pediatric Gastroenterology and Nutrition merekomendasikan bahwa pada anak dengan ulkus peptikum yang terdiagnosa secara endoskopi maupun radiologi, MALT lymphoma, dan untuk follow-up therapy sebaiknya dilakukan tes untuk mendeteksi adanya H. pylori ini. Sedangkan pada anak dengan resiko tinggi infeksi tetapi asimtomatik, nyeri perut yang tidak berhubungan ulkus peptikum, dan riwayat keluarga dengan kanker gaster tidak direkomendasikan untuk dilakukan tes-tes diagnostik ini secara rutin (Stenstorm.B,2008).

 

2.2.4      Penatalaksanaan

2.2.4.1  Terapi Eradikasi

Terapi Eradikasi direkomendasikan untuk anak-anak yang menderita infeksi H. pylori aktif dan penyakit gastrointestinal yang menunjukkan gejala. Infeksi H. pylori  aktif didefinisikan jika organisme dari pemeriksaan histopatologi teridentifikasi atau hasil positif dari kultur biopsi endoskopik gaster. Serologi bukan perupakan tes yang akurat untuk penyakit yang aktif.

Indikasi pemberian terapi eradikasi Helicobacter pylori adalah sebagai berikut.

1.    Terapi eradikasi direkomendasikan untuk anak-anak yang menderita ulkus duodenum atau ulkus gaster yang telah teridentifikasi pada endoskopi dan terdeteksi adanya H. pylori pada pemeriksaan histologi

2.    Terdapatnya riwayat ulkus gaster atau ulkus duodenum merupakan indikasi terapi jika infeksi H. pylori aktif teridentifikasi.

3.    Tidak ada indikasi untuk melakukan terapi pada anak-anak dengan infeksi H. pylori pada dispepsia tanpa ulkus atau nyeri abdomen fungsional.

4.    Terapi tidak direkomendasikan untuk anak-anak yang terinfeksi H. pylori dan dirawat di rumah sakit dalam waktu yang lama; anak-anak dengan perawakan pendek yang tidak diketahui penyebabnya; atau anak-anak dengan resiko tinggi terkena infeksi, termasuk anak-anak yang tidak menunjukkan gejala tetapi mempunyai riwayat keluarga penderita ulkus peptikum atau kanker gaster

5.    Pada anak yang hasil pemeriksaan patologinya terdiagnosa MALT lymphoma dengan infeksi H. pylori harus diberi terapi eradikasi. Pasien pediatrik dengan limphoma harus dimonitor rekurensi, progresi, atau remisi tumor setelah terapi.

6.    Terapi eradikasi direkomendasikan untuk anak-anak yang secara patologis terbukti menderita atrophic gastritis dengan metaplasia intestinal dan infeksi H. pylori (Gold, 2000).

Regimen terapi yang optimal untuk mengeradikasi H. pylori pada anak sebenarnya belum ditentukan. Menurut penelitian, terapi efektif untuk infeksi ini pada dewasa juga berhasil dilakukan pada 80% anak-anak. Walaupun begitu, hal ini juga belum pasti karena data yang tersedia minimal. Sensitifitas in vitro H.pylory terhadap obat-obatan spesifik tidak menjamin bahwa bakteri akan secara efektif  tereradikasi dari perut mausia. Oleh karena itu, strategi terapi untuk mengeradikasi H. pylori telah dikembangkan (Gold, 2000).

Hal terpenting yang harus dilakukan agar tercapai keberhasilan dalam mengeradikasi infeksi H. pylori adalah dengan menggunakan regimen terapi kombinasi.  Kebanyakan kegagalan terapi dikarenakan oleh terapi yang kurang optimal. Untuk mengoptimalkan regimen terapi ini, sejumlah medikasi, frekuensi pemakaian, dan lama terapi harus bnar-benar dipatuhi oleh pasien (Gold, 2000).

Terapi yang direkomendasikan terdiri dari 3 medikasi, yang dikonsumsi  2 kali sehari selama 1-2 minggu. Secara spesifik akan ditunjukkan pada tabel di bawah ini, ketiga terapi lini pertama di bawah ini direkomendasikan untuk anak-anak dan dewasa. Untuk anak-anak yang tidak merespon (gagal) setelah menjalani terapi lini pertama, direkomendasikan dua pilihan terapi lini kedua, salah satunya menggunakan 4 medikasi. Penggunaan monoterapi dan regimen dua  obat tidak dianjurkan karena mengakibatkan pengobatan menjadi tidak efektif (Gold, 2000).

Kebanyakan pilihan terapi infeksi H. pylori belum dites secara formal pada anak-anak di negara berkembang yang prevalensinya banyak. Standard "triple therapy" yang diberikan pada anak-anak adalah terapi selama 2 minggu dengan amoxicillin, clarithomycin, dan proton pump inhibitor (omeprazole atau lansoprazole) atau clarithomycin, metronidazole, dan proton pump inhibitor. Sebagai terapi lini kedua, kombinasi dari bismuth salicylate, amoxicillin, dan metronidazole selama 2 minggu telah memberi hasil yang baik. "Quadruple therapy", rangkaian terapi dengan antibiotik lain (rifabutin, levofloxacin, dan furozolidone) belum pernah diberikan pada anak sampai saat ini. Hal ini juga penting bahwa hasil eradikasi dikonfirmasi melalui urea breath test atau tes antigen feces 4 minggu setelah terapi dilakukan. Kegagalan eradikasi adalah indikasi penggunaan terapi lini kedua. Kriteria gagal adalah jika 4 minggu pasca terapi kuman H. pylori  tetap positif berdasarkan pemeriksaan UBT/HpSA atau histopatologi. Kegagalan terapi berulang kali merupakan indikasi untuk dilakukan kultur dan sensitifitas antibiotik terhadap organisme (Rajindrajith, et all, 2009).

Pada anak-anak, antibiotik dan garam bismuth telah digunakan dalam kombinasi dengan proton pump inhibitor untuk terapi infeksi H. pylori.  Tingkat eradikasi pada anak-anak mencapai 68%-92% pada pemberian dual theraphy atau triple therapy selama 4-6 minggu. Penyembuhan ulkus mencapai 91%-100%. Triple therapy menunjukkan hasil yang lebih baik daripada dual therapy. Regimen optimal untuk eradikasi infeksi H. pylori pada anak memang belum dikembangkan, tetapi penggunaan proton pump inhibitor yang dikombinasikan dengan clarithomycin dan amoxicillin atau metronidazole selama 2 minggu sangat dianjurkan dan direkomendasikan dalam triple therapy. Alasan terbanyak kegagalan terapi adalah karena ketidaktaatan pasien dalam konsumsi obat atau karena resistensi dari antibiotik (Kliegman, et all, 2007).

Antimikroba primer juga dapat menyebabkan kegagalan terapi walapun telah digunakan tiga atau empat obat. Resistensi H. pylori terhadap nitroimidazole menyebabkan peningkatan kegagalan terapi menggunakan metronidazole. Peningkatan prevalensi resistensi terhadap clarithomycin dapat mengurangi efektifitas terapeutiknya terhadap H. pylori.  Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa proton pump inhibitor juga dapat mengurangi efektifitas protokol terapi eradikasi (Gold, 2000).

Di bawah ini merupakan Rekomendasi Terapi Infeksi H.Pylori pada anak-anak menurut The North American Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition (2000) :

First Line Teraphy

Medikasi

Dosis

1

Amoxicillin

50 mg/kgBB/hari s.d. 1 g bid

 

Clarithromycin

15 mg/kgBB/hari s.d. 500 mg bid

 

Proton pump inhibitor : omeprazole

1 mg/kg/hari s.d. 20 mg bid

2.

Amoxicillin

50 mg/kgBB/hari s.d. 1 g bid

 

Metronidazole

20 mg/kgBB/hari s.d.500 mg bid

 

Proton pump inhibitor : omeprazole

1 mg/kg/hari s.d. 20 mg bid

3.

Clarithromycin

15 mg/kgBB/hari s.d. 500 mg bid

 

Metronidazole

20 mg/kgBB/hari s.d.500 mg bid

 

Proton pump inhibitor : omeprazole

1 mg/kg/hari s.d. 20 mg bid

Second Line Therapy

 

 

4.

Bismuth subsalycilate

1 tablet (262 mg) qid atau 15 ml (17.6 mg/ml qid)

3-6 years: 5 mL (± 88 mg) or 1/3 tab PO qid
6-9 years: 10 mL (± 175 mg) or 2/3 tab PO qid
9-12 years: 15 mL (262 mg) or 1 tab (262 mg) PO qid

 

Metronidazole

20 mg/kgBB/hari s.d.500 mg bid

 

Proton pump inhibitor : omeprazole

1 mg/kg/hari s.d. 20 mg  

 

Plus, antibiotik tambahan :

Amoxicillin

 

50 mg/kgBB/hari s.d. 1 g bid

 

atau  Tetracycline

(khusus untuk anak>12 tahun)

50 mg/kgBB/hari s.d. 1 g bid

 

atau  Clarithromycin

15 mg/kgBB/hari s.d. 500 mg bid

5

Ranitidine bismuth-citrate

1 tablet qid

 

Clarithromycin

15 mg/kgBB/hari s.d. 500 mg bid

 

Metronidazole

20 mg/kgBB/hari s.d.500 mg bid

Terapi ini harus dijalani  selama 7-14 hari untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Yang dimaksud eradikasi adalah hilangnya kuman pada pemeriksaan 4 minggu pasca terapi yang dibuktikan dengan metoda paling akurat. Jika pemeriksaan UBT negatif atau histopatologi negatif pada 4 minggu setelah terapi selesai, maka terapi eradikasi dianggap berhasil (Sudoyo, 2007).

1.            Proton Pump Inhibitor

Cara kerjanya adalah dengan mengeblok pompa sel parietal gaster H+/K+ ATPase yang merupakan akhir jalur utama  dari sekresi asam lambung sehingga terjadi penurunan stimulasi sekresi asam lambung. Proton pump inhibitor paling baik dikonsumsi sebelum makan (Kliegman, et all, 2007).

2,.        Amoxicillin

  1. Merupakan golongan antibiotik beta-lactam untuk pasien dengan infeksi helicobacter pylori yang stabil dalam lingkungan asam.
  2. Cara kerjanya adalah dengan mengikat protein pada dinding sel bakteri sehingga dinding bakteri lisis dan menginhibisi sintesis dinding sel bakteri.
  3. Bersifat bakterisidal (Sultan, 2010).

3.            Clarithromycin

  1. Makrolida untuk mengobati infeksi H. pylori  yang stabil dalam lingkungan gaster, dapat memasuki sel bakteri, berikatan dengan reseptor pada subnit ribosom, dan menginhibisi sintesis protein bakteri.
  2. Bersifat bakterisidal dengan spektrum antimikroba yang mirip dengan eritromisisn tapi lebih stabil pada lingkungan asam dan mempunyai efek samping lebih minimal pada gastrointestinal (Sultan, 2010).

4.            Metronidazole

a.   Cara kerjanya adalah dengan berdifusi ke dalam jaringan kemudian memproduksi produk intraseluler yang merusak DNA bakteri.

b.   Stabil dalam lingkungan gaster

c.   Bersifat bakterisidal pada H. pylori

5.            Bismuth subsalycilate

Bismuth subsalicylate dan bismuth subcitrate mempunyai efek saling melengkapi dengan beberapa antimikroba. Cara kerja bismuth adalah dengan merusak dinding sel bakteri. Bismuth umumnya efektif melisiskan dinding sel organisme yang mendekati epitel gaster sehingga tidak terjadi perlekatan pada epitel gaster dan menginhibisi urease (Sultan, 2010).

 

Efek Samping Umum Terapi Infeksi H. pylori (Stenström, 2008)

Proton pump inhibitor

Diare (1–4%), sakit kepala (1–3%), dan mual (1%)

(Kliegman, et all,  2007)

Clarithomycin

Gejala tidak nyaman pada gastroitestinal, diare, rasa tidak enak di mulut

Amoxicillin

Gejala tidak nyaman pada gastrointestinal, diare, dan sakit kepala

Metronidazole

Metallic taste, dispepsia, disulfiram like reaction dengan konsumsi alcohol

Tetracycline

Rasa tidak nyaman pada gastrointestinal, fotosensitif

Bismuth subsalicylate

Lidah dan warna feces yang hitam, mual, dan rasa tidak nyaman pada gastrointestinal

Furazolidone

Mual, muntah, sakit kepala, dan malaise, hipersensitifitas, hipotensi, , disulfiram like reaction dengan konsumsi alkohol, dan anemia hemolitik ringan yang reversibel

Rifabutin

Urin berwarna merah saat konsumsi obat, ruam, diare, mual, muntah, dispepsia, resiko myelotoksisitas dan toksisitas okular.

 

2.2.4.2 Terapi Pembedahan

Sejak penemuan H. pylori dan tersedianya pengobatan modern, penyakit ulkus peptikum yang membutuhkan terapi pembedahan mnjadi jarang. Indikasi pembedahan adalah jika terjadi perdarahan yang tidak terkontrol, perforasi, dan obstruksi. Sejak pengenalan terapi H. pylori dan penggunaan proton pump inhibitor, insiden pembedahan untuk perdarahan dan perforasi sangatlah berkurang. (Kliegman, 2007)

 

2.2.4.3 Diet yang baik digunakan untuk penderita infeksi H. pylori

Penelitian terbaru pada pasien dewasa menunjukkan bahwa penambahan vitamin C pada regimen terapi H. pylori amoxicillin, metronidazole, dan bismuth dapat secara signifikan meningkatkan eradikasi. (Sultan, 2010)

 

2.2.4.4 Follow Up Pasien Infeksi Helicobacter pylori :

Anak yang terkena infeksi Helicobacyer pylori dan mengalami komplikasi penyakit ulkus, termasuk perdarahan, nyeri hebat, perforasi, atau obstruksi harus dirawat inap dan diobservasi :

1.           Status Airway, Breathing, Circulation

2.           Monitoring dan resusitasi cairan

3.           Pemasangan NGT untuk mengetahui ada/tidaknya perdarahan gastrointestinal bagian atas

4.           Terapi proton pump inhibitor full dosis

5.           Konsultasi spesialis untuk endoskopi dan prosedur lain

Pada pasien rawat jalan, yang perlu diobservasi adalah keluhan-keluahan yang terjadi dan keberhasilan terapi, yaitu dengan melakukan pemeriksaan laboratorium pada minggu ke-4 setelah terapi selesai

2.2.4.5 Pencegahan

Prinsip pencegahan infeksi H. pylori adalah dengan cara mencegah transmisinya, yaitu melalui (Sultan, 2010) :

1.           Meningkatkan higienitas dalam kehidupan sehari-hari, terutama di negara-negara berkembang

2.           Untuk pasien yang menderita gejala gastrointestinal yang kronis, agar segera memeriksakan diri untuk mendapat kepastian diagnosa dan terapi sehingga jika memang positif terinfeksi H. pylori  dapat mencegah penularan pada anggota keluarga ang lain.

3.           Melakukan vaksinasi H. pylori (masih dalam fase II awal clinical trial)

 

 

2.2.5    Komplikasi

Komplikasi infeksi H. pylori (Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER), 2011):

1.    Ulkus peptikum dan ulkus duodenum, sebagian besar  ulkus ini disebabkan oleh H. pylori.

2.    Inflamasi mukosa gaster, H. pylori dapat mengiritasi permukaan lambung, menyebabkan inflamasi (gastritis).

3.    Kanker lambung, infeksi H. pylori merupakan faktor resiko yang kuat untuk beberapa kanker lambung, termasuk adenokarsinoma dan MALT limfoma.

2.2.6    Prognosis

Diagnosis infeksi H. pylori biasanya mengikuti diagnosis gastritis atau ulkus. Dengan terapi antibiotik yang adekuat, bakteri dapat dieradikasi dan resiko komplikasi berkurang. Setelah H. pylori tereradikasi dari tubuh, resiko terjadinya reinfeksi rendah. Namun, setelah infeksi sembuh, perlu dilakukan modifikasi perilaku untuk mencegah inflamasi lambung karena penyebab non-infeksi (Wedro, 2008).

BAB 3

KESIMPULAN

 

a.      Helicobacter pylori adalah bakteri Gram negatif yang mengalami adaptasi untuk dapat hidup dalam mukus lambung yang menutupi mukosa lambung yang bersuasana asam kuat.

b.      Prevalensi Helicobacter pylori di negara berkembang dilaporkan lebih tinggi dibandingkan negara maju.

c.      Faktor resiko infeksi Helicobacter pylori diantaranya lahir di negara berkembang, status ekonomi lemah, lingkungan yang padat dan sanitasinya yang kurang bersih, hidup dalam keluarga yang besar, adanya bayi dalam rumah, serta mereka yang sering terpajan dengan isi lambung orang yang terinfeksi Helicobacter pylori.

d.      Patogenesis infeksi Helicobacter pylori berkaitan dengan kemampuan bakteri ini masuk ke dalam lapisan mucus, kemudian melakukan perlekatan dengan sel epitel, evasi sistem imun, dan akhirnya terjadi kolonisasi dan transmisi persisten.

e.      Infeksi H.pylori pada anak sebagian besar asimtomatis atau memperlihatkan gejala saluran cerna yang tidak spesifik.

f.       Penegakan diagnosis dari infeksi Helicobacter pylori adalah dengan metode invasif dan non-invasif. Metode invasif meliputi endoskopi dan biopsi yang diikuti dengan pemeriksaan histologi, biakan uji urease, dan PCR. Sedangkan metode non-invasif meliputi uji serologi dan uji C-urea napas.

g.      Terapi eradikasi infeksi H.pylori adalah menggunakan regimen terapi kombinasi.  Untuk mengoptimalkan regimen terapi ini, sejumlah medikasi, frekuensi pemakaian, dan lama terapi harus benar-benar dipatuhi oleh pasien.

h.      Komplikasi yang dapat timbul dari infeksi H.pylori adalah ulkus lambung atau duodenum, gastritis kronis, dan kanker lambung.

i.       Prognosis infeksi H.pylori baik apabila terapi eradikasi berhasil, namun perlu disertai dengan modifikasi perilaku.

      

DAFTAR PUSTAKA

 

Benjamin et al, 2008, Helicobacter pylori Infection in Children: Recommendation for Diagnosis and Treatment. Journal of Peadiatrics Gastroentrology and Nutrition, 31:490-497.

Crone, J. and B.D. Gold. Helicobacter Pylori Infection in Pediatrics. Helicobacter 2004; 9:49-56.

Fardah A, Ranuh R G, Atmadji S. 2006, Infeksi Helicobacter Pylori pada anak,Continous Education, FK Unair RSU Dr.Soetomo, Surabaya.

Gold, Benjamin D, Richard B. Colletti, Myles Abbott, Steven J. Czinn, Yoram Elitsur,Eric Hassall, Colin Macarthur, John Snyder, and Philip M. Sherman. 2000. Helicobacter pylori Infection in Children: Recommendations for Diagnosis and Treatment. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, Medical Position Statement: The North American Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition.

Hino B, Eliakim R, Levine A, Sprecher H,.Berkowitz D,Hartman C,.Eshach-Adiv O, Shamir R, Comparison of Invasive and Non-Invasive Test Diagnosis and Monitoring Of Helicobacter Pylori Infection in Children, Journal of Pediatrics Gastroenterology, 2004(39):519-523.

Kliegman, Robert M, Hal B. Jenson, Richard E. Behrman, Bonita F. Stanton. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics 18th edition. Philadelphia : Sanders, an imprint of Elsevier Inc.

Nilsson C, Sillen A, Erikson L, Strand M, Enroth H, Normark S, Falk P, Engstrand L. Correlation between cag Pathogenecity Island Composition and Helicobacter pylori-Associated Gastroduodenal Disease. Infection and Immunity, Nov 2003, p. 6573-6581

Rajindrajith, Shaman, Niranga Manjuri Devanarayana, H. Janaka de Silva. 2009. Helicobacter pylori infection in children. Sri Lanka Journal of Child health, 2009; 38: 86-88.

Soemoharjo, Soewignjo. Helicobacter Pylori dan Penyakit Gastroduodenal. 2006. http://www.w3.org/1999/xhtml. Diakses tanggal 3 Februari 2009 pukul 19.00 WIB.

Stenstorm.B, Meudius, dan Marshall.B, 2008, Helicobacter pylori: The latest Diagnosis and Treatment, Journal of Australian Family Physician, Vol 37, No. 8, August 2008.

Sudoyo, Aru W, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata, Siti Setiati. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: PAPDI.

Suerbaum, S. and P.Michetti. Helicobacter Pylori Infection. N. Engl. J Med. 2002; 347: 1175-86.

Sultan, Mutaz I. 2010. Helicobacter Pylori Infection: Treatment & Medication. http://www.emedicine.com.

Vakil N, Fendrick A.M, 2005, How to test for Helicobacter pylori in Children, Cleveland Clinical Journal of Medicine . 2005(72) : 508-514[18].

Westblom TU, Marshall BJ, Mc Callum RW, Guerrant RL Eds. Laboratory diagnosis and handling of Helicobacter pylori in peptic ulceration. London : Blackwell Scientific Publication, 1991:81-91.

Yamaoka Y, Malaty HM, Osato MS, and Graham DY. Conservation of Helicobacter pylori Genotypes in Different Ethnic Groups in Houston, Texas. The Journal of Infectious Disease, 2000;181:2083-6.

 

 



--
Shigenoi Haruki

Comments

Popular Posts