PAPUA
Provinsi Papua
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari
Untuk pengertian lain dari Provinsi Papua, lihat Provinsi Papua (disambiguasi).
Papua
Lambang Papua
Karya Swadaya
Peta lokasi Papua
Koordinat
Dasar hukum
Tanggal penting 1 Mei 1963 (direbut dari Belanda)
Ibu kota
Jayapura
Gubernur
Barnabas Suebu
Luas
420.540 km2
Penduduk
2,93 Juta (2002)
Kepadatan 800/km2
Kabupaten
27
Kodya/Kota
2
Kecamatan
214
Kelurahan/Desa
Suku Papua (52%), Non Papua/Pendatang (48%) (2002)
• Papua: Suku Aitinyo, Suku Aefak, Suku Asmat, Suku Agast, Suku Dani, Suku Ayamaru, Suku Mandacan, Suku Biak, Suku Serui
• Non-Papua/Pendatang: Suku Jawa, Suku Makassar, Suku Batak, Suku Manado
Agama
Protestan (51,2%), Katolik (25,42%), Islam (23%), Budha (0,13%), Hindu (0,25%), lain-lain (1%)
Bahasa
Bahasa Indonesia, dan 268 Bahasa Daerah
Zona waktu
WIT
Lagu Daerah
Apuse, Yamko Rambe Yamko
Situs web resmi: www.papua.go.id
(?)
Papua adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Nugini bagian barat atau west New Guinea.
Papua juga sering disebut sebagai Papua Barat karena Papua bisa merujuk kepada seluruh pulau Nugini termasuk belahan timur negara tetangga, east New Guinea atau Papua Nugini. Papua Barat adalah sebutan yang lebih disukai para nasionalis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri. Provinsi ini dulu dikenal dengan panggilan Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973, namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002. Nama provinsi ini diganti menjadi 'Papua' sesuai UU No 21/2001 Otonomi Khusus Papua. Pada masa era kolonial Belanda, daerah ini disebut Nugini Belanda (Dutch New Guinea).
Asal kata Irian adalah Ikut Republik Indonesia Anti-Netherland.
Kata Papua sendiri berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting, sebuah gambaran yang mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli.
Pada tahun 2004, disertai oleh berbagai protes, Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama 'Papua' sedangkan bagian baratnya menjadi Irian Jaya Barat.
[sunting] Pemerintahan
[sunting] Kabupaten dan Kota
1. Kabupaten Asmat
2. Kabupaten Biak Numfor
3. Kabupaten Boven Digoel
4. Kabupaten Dogiyai
5. Kabupaten Jayapura
6. Kabupaten Jayawijaya
7. Kabupaten Keerom
8. Kabupaten Lanny Jaya
9. Kabupaten Mamberamo Tengah
10. Kabupaten Mappi
11. Kabupaten Merauke
12. Kabupaten Mimika
13. Kabupaten Nabire
14. Kabupaten Nduga Tengah
15. Kabupaten Paniai
16. Kabupaten Pegunungan Bintang
17. Kabupaten Puncak
18. Kabupaten Puncak Jaya
19. Kabupaten Sarmi
20. Kabupaten Supiori
21. Kabupaten Tolikara
22. Kabupaten Waropen
23. Kabupaten Yahukimo
24. Kabupaten Yalimo
25. Kabupaten Yapen Waropen
26. Kabupaten Mamberamo Raya
27. Kota Jayapura
[sunting] Geografi
Luas wilayah
Luas 420.540 km2
Iklim
Curah hujan 1.800 – 3.000 mm
Suhu udara 19-28°C
Kelembapan 80%
[sunting] Kelompok suku asli di Papua
Peta menunjukkan kota-kota penting di Irjabar dan Papua
Kelompok suku asli di Papua terdiri dari 255 suku, dengan bahasa yang masing-masing berbeda. Suku-suku tersebut antara lain:
• Ansus
• Amungme
• Asmat
• Ayamaru, mendiami daerah Sorong
• Bauzi
• Biak
• Dani
• Empur, mendiami daerah Kebar dan Amberbaken
• Hatam, mendiami daerah Ransiki dan Oransbari
• Iha
• Komoro
• Mee, mendiami daerah pegunungan Paniai
• Meyakh, mendiami Kota Manokwari
• Moskona, mendiami daerah Merdei
• Nafri
• Sentani, mendiami sekitar danau Sentani
• Souk, mendiami daerah Anggi dan Menyambouw
• Waropen
• Wamesa
• Muyu
• Tobati
• Enggros
• Korowai
• Fuyu
Ini adalah IK untuk 2007 (biasanya direvisi setiap awal tahun). Angkanya mungkin tidak bermakna, tapi besaran relatif-nya (relative magnitude) bisa bermanfaat untuk mengukur biaya hidup di suatu kota dibandingkan kota lain.
Batam 167
Jakarta 167
Jayapura 167
Ambon 162
Banda Aceh 162
Lhokseumawe 162
Pontianak 162
Surabaya 162
Ternate 162
Balikpapan 161
Bandung 161
Denpasar 159
Kupang 159
Malang 159
Medan 159
Palu 159
Kendari 158
Manado 158
Pekanbaru 158
Makassar 157
Padang 157
Palangkaraya 157
Bandar Lampung 156
Banjarmasin 156
Samarinda 156
Yogyakarta 156
Bengkulu 155
Palembang 155
Semarang 155
Jambi 154
Sibolga 154
Cirebon 152
Jember 152
Kediri 152
Mataram 152
Purwokerto 152
Solo 152
Tasikmalaya 152
Memang benar biaya hidup sangat tinggi utk expat2 !! Tapi utk orang lokal beda....., karena expat gak mungkin belanja sayur di pasar.... Knp ? Remember..., tingkat kejahatan tinggi !
Nah....., semua perusahaan2 yang memperkejakan expat (termasuk kita2 ini dianggap expat), pasti akan dicover seluruh biaya hidupnya dari A s/d Z ! Spt yang gw pernah tulis...., sebenarnya pengeluaran loe yang utama cuma beli sabun mandi, shampoo, odol, & sikat gigi. Itu kalo mau benar2 irit. Kecuali loe mau beli jajanan.... Jadi kalo ditanya...., apa bisa survive ? Jawabnya "BISA BANGET !". Lah...., wong semua ditanggung perusahaan kok ! Bahkan fiskal & airport tax (termasuk tiket PP yang harganya US$ 2400 utk open setaon !!) ditanggung perusahaan !! Loe tinggal bawa koper...titik !
Kenapa banyak bule2 yang mau kesini ? Selain karena tambang2nya yang masih penuh belom terexplorasi semua, juga karena disini "TIDAK ADA peraturan baku yang jelas !". Semua mesti loe set-up sendiri kalo mau bisnis disini.
Contoh..., boss gw cerita..., sekitar 10 tahun lalu bule2 (terutama Aussie) menguasai hampir semua bidang usaha disini. & mereka dengan racistnya..., hanya mau dealing dengan sesama bule. Gaya hidup mereka yang santai disini (karena tabungan di negara asalnya dah cukup membiayai hidup disini). Supermarket2 yang dikuasai bule2...., setiap hari buka hanya sampe jam 5 sore & weekend tutup ! Knp ? Karena mereka lebih suka santai dipantai..., berlayar..., dll.
Makin lama makin banyak orang2 Chinese perantauan..., & mereka sebagaimana Chinese2 lainnya sangat ulet !! Salut loh liat gaya hidup mereka yang bisa bertahan begitu sederhana ! Mereka bikin aturan sendiri...., supermarket2 bule pada buka sampe jam 5 & weekend tutup, mereka buka sampe jam 19.30 & weekend buka !! Nah loh......., pasar ya akhirnya mengikuti donk....
Itu sepenggal cerita gimana utk set-up bisnis disini yang diperlukan cuma nyali utk breakthrough !
Pengembangan Model Pelayanan Kesehatan pada Wilayah Terisolir
di Provinsi Papua
Oleh
Nur?aini Irias Tuti, Rini Ansanay, Paminto Widodo
Dinas Kesehatan Provinsi Papua
Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya. Upaya pembangunan manusia seutuhnya harus dimulai sedini dan seawall mungkin, yakni sejak manusia itu masih berada dalam kandungan dan semua balita. Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari upaya membangun kesehatan seutuhnya. Situasi status kesehatan keluarga yang tercermin pada Profil Kesehatan Provinsi Papua masih menunjukkan masih sangat jauh dari angka standar nasional, terlihat dari angka KEmatian Ibu kuranglebih 3 x angka kematian nasional (Survey AKI Dinas KEsehatan Prov. Papua 2001 :1161 per 100.000 KH, survey yang dilakukan oleh WHO 369 / 100.000 KH, Nasional 334/100.000 KH). Angka Kematian Bayi 112 pwewe 1000 KH (NAsional P: 52/1000 KH).
Status kesehatan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya ada;ah ekonomi social budaya dan masalah transportasi yang menjadi akses bagi masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan, kenyataan yang diperoleh dalam tatananhidup masyarakat Indonesia masih belum tersentuh dan terjangkau oleh pelayanan pemabngungan dan pelayanan kesehatan hal ini disebabkan luasnya wilayah daratan papua dan penyebaran penduduk yang tidak merata.
Provinsi Papua mempunyai beberapa willayah yang dikelompokkan menjadi wilayah terisolir dan terpencil dimana mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah setempat karena sulitnya medan maka selama ini tidak ada pelayanan pemerintah dalam berbagai sektor termasuk sektor kesehatan.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh model pengembangan pelayanan kesehatan untuk 14 titik wilayah terisolir terpencil sehingga masyarakat yang berumukim di daerah tersebut memperoleh pelayanan kesehatan, dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk sector terkait sebagai upaya penyusunan rencana pengembangan pelayanan kesehatan di daerah terpencil, terisolir dan model pelayanan kesehatan yang akan diberikan oleh petugas kesehatan sebagai sumbangan pemikiran kepada instansi terkait, khususnya pemegang kebijakan daerah terpencil dalam pengembangan pelayanan kesehatan meningkatkan peran serta masyarakat , LSM dan Misionaris. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian terapan dengan metoda yang dilakukan metoda observasi dengan disain deskriptif dan sampling di ambil secara purposif sampling, metoda yang pegumpulan data dengan melakukan indepth interview.
Hasil yang diperoleh model pelayanan kesehatan :
berbasis masyarakat
a. menjadi kader kesehatan
b. pembentukan pos obat desa / poskesdes
c. menjadi penyukluh kesehatan
2. 9; LSM dan Penerbangan
a. MoU dengan pemda setempat untuk pelayanan trasportasi rujukan layanan Dokter Terbang dan dropping obat POD
b. Menjadi mediator bagi masyarakat dan rumah sakit atau DInkes bagi konsultasi medis dan informasi bila terjadi KLB menggunakan radio SSB
3. Pemerintah Daerah/Dinas Kesehatan
pelatihan kader kesehatan
alokasi dana dan MoU untuk pelayanan rujukan dan transportasi dan operasional dokter terbang
penjadwalan tenaga kesehatan untuk menangani rujukan medis melalui radio SSB
melatih Kru Penerbangan untuk penanganan Kegawatdaruratan
Dalam penelitian kesimpulan yang dapat di ambil antara lain :
pola 10 penyakit yang ada XIV wilayah terpencil terisolir di Provinsi Papua malaria, diare, ISPA,penyakit kulit, kecacingan, frambusia, TBC, Filaria, Ginggivitis, Conjungtivitis. Ditemukan juga beberapa kasus seprti anemia dan kurang gizi pada anak anak balita.
Masalah kesehatan lain sering di jumpai pada daerah terpencil terisolir adalah: (1) masalah lingkungan tempat tinggal, (2) masalah kebiasaan makan; (3) masalah persalinan dan imunisasi (4). Masalah Pola bersih hidup sehat
Upaya masyarakat dalam mencari pengobatan masih menggunakan cara tradisional yakni ditolong dukun dengan minum ramuan dan mengobati diri sendiri, hal ini disebabkan oleh tingkat pengetahuan masyarkat dan tidak ada sarana kesehatan. Pada bebera pa kasus penyakit penderita langsung di rujuk ke rumah sakit terdekat.
Alur rujukan belum terkoordinasi dengan baik,belum ada kerjasama antara pihak penerbangan dan pemda Provinsi Papua.
Berdasarkan kesimpulan di atas dapat disarankan :
Dalam mendukung Papua Sehat 2010 maka penanganan masalah kesehatan terutam daerah dengan katagori terpencil dan terisolir perlu mendapat penanganan khusus dengan model pelayanan yang berbeda dengan daerah lainnya.
Dinas Kesehatan menjalin kerjasama dengan LSM, masyarkat, misionaris dan pemda untuk menerapkan model pelayanan
Kerja sama Pemda dengan pihak penerbangan untuk memberil pelayanan dengan model dokter terbang dan juga rujukan penderita dari daerah terpencil terisolir
LSM dan Misionaris dalam memberi model pelayanan terpadu yaitu pelayanan agama bersamaan dengan pelayanan kesehatan.
Perlunya alokasi dana khusus dari pemerintah daerah setempat untuk penanganan daerah tersebut dan penyediaan fasilitas kesehatan dan tunjangan yang besar bagi tenaga kesehatan yang ditempatkan didaerah tersebut.
BA
A
K
D
T
A
I
S
HU
LAPORAN HASIL PENELITIAN
PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI
PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005
i
LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA
WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005
Ketua Pelaksana:
Dr. Fonny J Silfanus, MSc
Sub Direktorat AIDS&PMS
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan Indonesia
Peneliti Utama:
Dr. Endang R. Sedyaningsih, Dr.PH
Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Indonesia
Pemantau Teknis:
Prof. Dr. Sjaiful Fahmi Daili, SpKK (K)
Departemen Kulit dan Kelamin,
Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Peneliti:
Dr. Flora Kioen Tanudyaya, MSc
Dr. Atiek Sulistyarni Anartati, MPH&TM
Dr. Kemmy Ampera Purnamawati
Aang Sutrisna
Siswadi
Dr. Leny Senduk
Hari Purnomo
Vita Ayu
Family Health International, Indonesia
Aksi Stop AIDS (ASA) Program
Nurjannah, SKM
Sub Direktorat AIDS&PMS
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan Indonesia
Drs. Eko Rahardjo
Drs. Syahrial Harun
Dr. Roselinda, MEpid
Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Indonesia
ii
Tim Lokal Papua
Dinas Kesehatan Provinsi Papua
1.Dr. Soewardi Redjo, MPH
2.Dr. Rini Ansanay
3. Michael Ryan P
Balai Laboratorium Kesehatan Jayapura
1.Wiwik Dwi Irawati
2.Nico Wambrau
Puskesmas Waris
1.Dr. Nur Yanti
Rumah Sakit Dok II, Jayapura
1.Dr. Noor Ikhtiyati, SpKK
Rumah Sakit Dian Harapan, Jayapura
1.Yosep Jalong
PKBI Jayapura
1.Valentine Karubaba
2.Oktovina L Aya
3. Ais Reawaruw
4.Ati Yusvianti
5.Sri Rahayu S Amp
6.Mardia Basalem
7.Endang Minarsih
Yayasan Harapan Ibu
1.Agustina Maware
2.Diarni Rupang
iii
KATA PENGANTAR
Dengan semakin meningkatnya prevalensi HIV/AIDS saat ini, diharapkan
penanganan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) juga harus semakin ditingkatkan,
karena Infeksi Menular Seksual merupakan salah satu Entry Point (Pintu Masuk)
infeksi HIV.
Sedangkan perhatian terhadap IMS pada saat ini seakan terabaikan, karena lebih
tertuju kepada penanggulangan HIV, terbukti dengan kurangnya data data
yang
berhubungan dengan IMS tersebut.
Dari beberapa sumber data yang ada, disebutkan bahwa sifilis, ulcus molle
( Canchroid ) dan herpes genitalis meningkatkan resiko penularan HIV 2 9
kali.
Sedangkan IMS tanpa gejala ulkus menyebabkan peningkatan risiko penularan HIV
3 5
kali. Sebaliknya HIV juga mempengaruhi progresifitas perjalanan penyakit IMS
akibat penurunan daya tahan tubuh dan resistensi terhadap obat. Karena itu upaya
yang komprehensif dalam penanggulangan HIV maupun IMS sangat diperlukan
sehingga dapat memberikan dampak untuk menurunkan prevalensi kedua penyakit
tersebut.
Pada tahun 2003 Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan bekerjasama dengan Badan
Penelitian & Pengembangan Kesehatan dan Program ASAFHI
melaksanakan
Penelitian tentang Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi pada Wanita Penjaja Seks
yang dilakukan di tujuh kota ( Jayapura, Bitung, Semarang, Banyuwangi, Medan,
Palembang dan Tanjung Pinang ) dan pada tahun 2005 dilakukan penelitian yang
kedua pada 10 ( sepuluh ) kota dengan penambahan di tiga kota dari penelitian
pertama ( DKI Jakarta, Bandung, Surabaya ).
iv
Hasil penelitian ini menggambarkan data prevalensi IMS yang dapat digabungkan
dengan perbandingan hasil penelitian yang pertama dan sebagian data dasar
surveilans generasi kedua yang dilanjutkan ditahun mendatang. Data ini juga bisa
memberikan informasi mengenai beberapa hal yang perlu untuk makin
menyempurnakan upaya pencegahan yang telah dilaksanakan di tiap kabupaten/
kota dari propinsi yang diteliti.
Sepatutnyalah kami menyampaikan penghargaan yang setinggitingginya
kepada
segenap pihak baik perorangan maupun lembaga yang telah berperan serta dalam
penelitian prevalensi infeksi saluran reproduksi di sepuluh kota tersebut.
Semoga laporan hasil penelitian prevalensi infeksi saluran reproduksi yang kedua
ini akan bermanfaat bagi pembaca dan dapat menjadi acuan dalam perencanaan
penatalaksanaan IMS di Indonesia.
Jakarta, Desember 2005
Direktur Jenderal PP & PL
Dr. I Nyoman Kandun,MPH
NIP: 140 066 762
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
RINGKASAN EKSEKUTIF ix
I . PENDAHULUAN 1
II . TUJUAN 5
III. METODE 7
III.1. Rancangan penelitian dan populasi yang diteliti 7
III.2. Strategi penghitungan dan pengambilan sampel 7
III.3. Waktu dan tempat 8
III.4. Tim pengumpul data 8
III.5. Alur proses pengambilan data 9
III.6. Diagnosis dan pengobatan 10
III.7. Pemeriksaan laboratorium 11
IV. HASIL 13
IV.1. Rekrutmen 13
IV.2. Karakteristik populasi yang diteliti 14
IV.3. Pemeriksaan fisik 20
IV.4. Prevalensi ISR 20
IV.5. IMS Tanpa Tanda 21
IV.6. Perilaku Berisiko 21
IV.6.1 Pemakaian kondom 21
IV.6.2 Perilaku Pecegahan yang keliru 23
IV.6.3 Perilaku Pengobatan IMS 24
vi
IV.7. Cakupan Program 25
V. DISKUSI 27
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 37
VI.1. Kesimpulan 37
VI.2. Saran 38
Referensi 39
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Prevalensi ISR Pada WPS, Jayapura, 2003 2
Tabel 2. Daftar Diagnosis dan Pengobatan yang Diterapkan
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005 10
Tabel 3. Pemeriksaan Laboratorium Yang Menjadi Dasar Pengukuran
Prevalensi ISR
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005 11
Tabel 4. Realisasi Sampel
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005 13
Tabel 5. Karakteristik Populasi yang Diteliti
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005 16
Tabel 6. Perhitungan Perkiraan Prevalensi Gonore dan Klamidia dengan
Genprobe
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005 28
Tabel 7. Prevalensi ISR Pada WPS Langsung dan Tidak Langsung
di Jayapura, Papua, 2003 dan 2005 29
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Provinsi Tempat Asal WPS
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005 17
Gambar 2. Jumlah Pelanggan Dalam Satu Minggu Terakhir
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005 18
Gambar 3. Pelanggan Terbanyak WPS Langsung Dalam 1 Minggu Terakhir
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005 19
Gambar 4. Pelanggan Terbanyak WPS Tempat Hiburan Dalam 1 Minggu Terakhir
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005 20
Gambar 5. Prevalensi ISR yang Diteliti
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005 21
Gambar 6. Konsistensi Menawarkan Kondom Selama Seminggu Terakhir
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005 22
Gambar 7. Konsistensi Menggunakan Kondom Selama Seminggu Terakhir
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005 23
Gambar 8. Perilaku Pengobatan Ketika Terkena IMS
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005 24
Gambar 9. Cakupan Program Penjangkauan Bagi WPS dalam 3 Bulan Terakhir
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005 25
Gambar 10. Cakupan Program Klinik IMS Bagi WPS dalam 3 Bulan Terakhir
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005 26
ix
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pendahuluan
Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) mempermudah
penularan HIV sehingga prevalensi IMS dan ISR dapat menunjukkan risiko penyebaran
HIV. Di Indonesia, epidemi HIV sudah terkonsentrasi dengan prevalensi HIV pada WPS
(Wanita Penjaja Seks) di beberapa tempat >5%, bahkan 26,5% di Merauke (Papua). Di
samping itu, prevalensi IMS juga dapat memberikan gambaran perluasan cakupan dan
peningkatan kualitas program penanggulangan IMS dan HIV/AIDS. Oleh karena itu, data
prevalensi IMS perlu diamati secara periodik melalui surveilans IMS. Data tersebut dapat
menjadi informasi dalam merencanakan, melaksanakan, memonitor serta mengevaluasi
program untuk meningkatkan mutu upaya penanggulangan IMSHIV/
AIDS.
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS tahun 2003 melaporkan di 7 kota yang diteliti terdapat
54% 75%
WPS lokalisasi, 48% 77%
WPS tempat hiburan, dan 62% 93%
WPS
jalanan yang terinfeksi >1 ISR yang diteliti. Khusus Jayapura, dilaporkan terdapat 54%
WPS lokalisasi dan 93% WPS jalanan yang terinfeksi >1 ISR yang diteliti. Penelitian di
Jayapura kali ini merupakan bagian dari penelitian yang dilaksanakan di 10 kota/kabupaten,
yaitu di Jayapura, Banyuwangi, Semarang, Medan, Palembang, Tanjungpinang, Bitung,
Jakarta Barat, Bandung, dan Surabaya.
Tujuan
Tujuan utama adalah untuk mengukur prevalensi infeksi gonore, klamidia, sifilis, herpes
simpleks tipe 2, trikomoniasis vaginalis, bakterial vaginosis dan kandidiasis vaginal pada
WPS di kabupaten dan kota Jayapura, Papua. Penelitian juga mendeskripsikan karakteristik
demografis dan perilaku seksual berisiko tinggi WPS.
x
Metoda
Penelitian ini mengukur prevalensi ISR secara crosssectional.
Populasi yang diteliti adalah
WPS langsung dan tidak langsung berumur 15 – 50 tahun, sedang tidak menstruasi dan
tidak hamil. Jumlah yang diperlukan 237; dengan memperhitungkan ketidakhadiran maka
diundang 333 WPS. Penelitian dilaksanakan tanggal 27 Mei 3
Juni 2005 oleh tim inti
yang bekerja sama dengan tim keliling dan tim lokal.
Sampel WPS tidak langsung (124 orang) diambil dari bar, karaoke, dan pub, sedang
sampel WPS langsung (126 orang) diambil dari lokalisasi.
Hasil
Umur WPS di Jayapura berkisar antara 16 – 46 tahun (WPS langsung 16 – 46 tahun,
median 29 tahun; WPS tidak langsung 17 – 40 tahun, median 24 tahun). Median umur
pertama kali berhubungan seks WPS langsung 16 tahun, tidak langsung 18 tahun;
termuda 11 tahun pada WPS langsung dan 12 tahun pada tidak langsung. Tujuh puluh
lima persen WPS langsung berpendidikan SMP ke bawah, sedangkan >75% WPS tidak
langsung berpendidikan sama atau lebih tinggi tingkat SMP.
Empat puluh enam persen WPS langsung dan 34% yang tidak langsung tidak memakai
alat kontrasepsi apapun. Di antara yang memakai kontrasepsi, sebagian terbesar dengan
suntik atau pil. Median lama kerja WPS langsung 24 bulan, WPS tidak langsung 7,5
bulan. Sekitar 46% WPS langsung dan 88% WPS tidak langsung baru bekerja di lokasi
sekarang sekitar satu tahun atau kurang. Sebagian besar WPS berasal dari Jawa Timur
(WPS langsung) dan Sulawesi Utara (WPS tidak langsung).
Median jumlah pelanggan WPS langsung dalam seminggu terakhir 3 orang, WPS tidak
langsung 1 orang; 73% WPS langsung dan 42% WPS tidak langsung menyatakan tidak
tahu apa latar belakang pelanggan terbanyak mereka, 6% WPS langsung dan 26% tidak
langsung menyatakan pelanggan terbanyak mereka adalah PNS (pegawai negeri sipil).
xi
Secara keseluruhan, prevalensi gonore dan klamidia 30% dan 44%. Pada WPS langsung
prevalensi gonore 34%, klamidia 33%, pada yang tidak langsung 26% dan 56%. Infeksi
ganda gonore dan klamidia 16%, WPS langsung 15%, tidak langsung 18%. Prevalensi
trikomoniasis vaginalis 24%, WPS langsung 15%, tidak langsung 33%. Prevalensi bakterial
vaginosis 57%, WPS langsung 46%, tidak langsung 67%. Prevalensi vaginal kandidiasis
7%, WPS langsung 4%, tidak langsung 10%. Prevalensi sifilis laten 6%, WPS langsung
9%, tidak langsung 3%. Prevalensi serologi positif (IgG) herpes simpleks tipe2
94%,
WPS langsung 97%, tidak langsung 90%.
Ditemukan 19 (25%) kasus gonore, 33 (30%) kasus infeksi klamidia, 15 (100%) kasus
sifilis dan 234 (100%) kasus infeksi herpes simpleks tipe 2 yang tidak menunjukkan tanda
pada pemeriksaan fisik.
Seminggu terakhir, 42% WPS langsung dan 37% tidak langsung selalu menggunakan
kondom; 8% WPS langsung dan 52% tidak langsung tidak menggunakan kondom sama
sekali. Terdapat dua perilaku pencegahan terhadap IMSHIV
yang keliru: minum antibiotik
dosis tidak tepat (27% WPS langsung dan 46% tidak langsung), dan cuci vagina (82%
WPS langsung dan 75% tidak langsung). Dalam 3 bulan terakhir, ketika mengalami gejala
IMS, 54% WPS langsung dan 75% WPS tidak langsung tidak melakukan pengobatan
yang benar (tidak diobati sama sekali, beli obat sendiri atau menggunakan obat tradisional).
Kesimpulan
Prevalensi ISR/IMS yang diteliti masih tinggi. Sebagian besar kasus tidak menunjukkan
tanda dan gejala. Konsistensi pemakaian kondom masih rendah, bahkan perilaku sama
sekali tidak menggunakan kondom masih tinggi. Proporsi perilaku pencegahan yang salah
yaitu pemakaian antibiotik dan cuci vagina sangat tinggi. Begitu juga proporsi perilaku
pencarian pengobatan IMS yang salah. Pelanggan WPS bukan hanya kelompok yang
diasumsikan berperilaku seksual risiko tinggi (seperti ABK, nelayan, sopir), tetapi juga
TNI/Polri, PNS, pegawai swasta, buruh kasar, pedagang dan pelajar/mahasiswa.
Jangkauan program penanggulangan IMSHIV/
AIDS masih terbatas.
xii
Saran
Program pencegahan primer IMS di Jayapura perlu diperkuat dan diperluas untuk
meningkatkan jangkauan (minimal 80%), termasuk kelompok lakilaki
yang berpotensi
menjadi pelanggan WPS. Program pencegahan sekunder IMS berupa tatalaksana klinis
IMS perlu diperkuat dan dipermudah aksesnya. Institusi penyedia layanan IMS perlu
dilengkapi dengan fasilitas laboratorium, sekurangkurangnya
laboratorium sederhana,
untuk mendiagnosis IMS. Program penguatan komponen pendukung bagi penanggulangan
IMS di Jayapura perlu dilaksanakan untuk meningkatkan keberhasilan program pencegahan
primer dan sekunder yang sudah ada. Pendidikan Kesehatan Reproduksi perlu diberikan
sedini mungkin melalui berbagai cara dan saluran di sekolah maupun luar sekolah.
Pengukuran prevalensi ISR di Jayapura perlu terus dilakukan secara periodik (surveilans)
agar didapat data guna memonitor, mengevaluasi dan merencanakan upaya
penanggulangan IMSHIV/
AIDS selanjutnya.
1
I
PENDAHULUAN
I nfeksi Menular Seksual (IMS) dan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) diketahui
mempermudah penularan HIV. Selain itu, IMS juga merupakan petunjuk adanya
perilaku seksual yang berisiko. Prevalensi IMS yang tinggi pada suatu populasi di
suatu tempat merupakan pertanda awal akan risiko penyebaran HIV, walaupun prevalensi
HIV masih rendah. Di Indonesia, epidemi HIV sudah bersifat terkonsentrasi, dengan
prevalensi HIV pada WPS (Wanita Penjaja Seks) di beberapa tempat lebih dari 5%, bahkan
mencapai 26,5% di Merauke (Papua). 1,2 Dengan prevalensi IMS pada WPS yang tinggi
sebagaimana dilaporkan di beberapa tempat, 3,4,5,6,7,8 dikhawatirkan penyebaran HIV di
Indonesia akan makin meluas. Oleh karena itu, data prevalensi IMS perlu diamati secara
periodik melalui surveilans. Data tersebut dapat menjadi informasi dalam merencanakan,
melaksanakan, memonitor serta mengevaluasi program untuk meningkatkan mutu upaya
penanggulangan IMSHIV/
AIDS.
Di samping menunjukkan risiko penyebaran HIV, prevalensi IMS dapat memvalidasi data
perilaku penggunaan kondom yang didapat dari surveilans perilaku. Kurangnya perilaku
penggunaan kondom akan tergambar dengan tetap tingginya prevalensi IMS. Di lain pihak,
peningkatan penggunaan kondom akan lebh berdampak pada penurunan prevalensi IMS
daripada prevalensi HIV. Penurunan prevalensi IMS juga dapat memberikan gambaran
perluasan cakupan dan peningkatan kualitas program penanggulangan IMS dan HIV/AIDS. 9
Data surveilans IMS yang dianalisis secara terintegrasi dengan data surveilans perilaku
dan HIV dalam sistem surveilans generasi kedua, sebagaimana direkomendasikan WHO
pada tahun 2000, akan memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai
kecenderungan (trend) perilaku seksual, potensi penyebaran HIV, serta menjadi alat
manajemen (perencanaan, pelaksanaan, monitor, evaluasi, memperbaiki perencanaan)
program penanggulangan IMS/HIV/AIDS. 10
2 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005 > i Koreksi laporan Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Pada Wanita Penjaja Seks di Bitung, Indonesia, 2003: Prevalensi Bakterial Vaginosis pada WPS Langsung 66% dan Tidak
langsung 53%
Penelitian prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) pada WPS, yang diselenggarakan
oleh Sub Direktorat AIDS & PMS, Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan Indonesia bekerja sama dengan Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan Program ASA pada tahun 2003, melaporkan
bahwa di 7 kota yang diteliti terdapat 54% 75%
WPS lokalisasi, 48% 77%
WPS tempat
hiburan, dan 62% 93%
WPS jalanan yang sedang terinfeksi satu atau lebih ISR yang
diteliti. 11 Khusus untuk kota /kabupaten Jayapura, dilaporkan terdapat 54% WPS lokalisasi
dan 93% WPS jalanan yang sedang terinfeksi salah satu atau lebih ISR yang diteliti. 12
Prevalensi tiap jenis ISR pada WPS di Jayapura pada tahun 2003 dijelaskan pada
tabel 1.
Tabel 1. Prevalensi ISR pada WPS langsung di Jayapura, 2003
* Koreksi Laporan Prevalensi ISR pada Wanita Penjaja Seks di Jayapura, Indonesia, 2003
(Buku Lama): berturutturut
WPS Lokalisasi, Jalanan, dan Total WPS Langsung: Tertulis:
Sifilis dini: 1%, 12%, 3%; Sifilis laten lanjut: 3%, 7%, 4%; BV: 34%, 52%, 37%.
Laporan lain dari beberapa lokasi di Indonesia antara tahun 1999 dan 2001 menunjukkan
prevalensi gonore dan klamidia yang cukup tinggi, yaitu antara 2035%,
3,4,7,8 dan prevalensi
serologi sifilis positif pada WPS di Papua tahun 2000 2004
berkisar antara 024%.
6
Angkaangka
prevalensi yang dilaporkan dari pengamatan dan pengukuran yang masih
bersifat sporadis tersebut di atas tergolong tinggi.
ISR
WPS
lokalisasi
N=208
WPS
jalanan
N=42
Total
WPS
Langsung
Gonore 16% 50% 22%
Klamidia 14% 55% 21%
Infeksi ganda Gonore dan Klamidia 5% 33% 10%
Sifilis dini 2%* 14%* 4%*
Sifilis laten lanjut 2%* 5%* 3%*
Trikomoniasis vaginalis 1% 38% 7%
Bakterial vaginosis 16%* 36%* 20%*
Kandidiasis vaginalis 22% 43% 26%
3
Penelitian di Jayapura kali ini merupakan bagian dari penelitian yang dilaksanakan di 10
kota/kabupaten di Indonesia, yaitu di Jayapura, Banyuwangi, Semarang, Medan,
Palembang, Tanjung Pinang, Bitung, Jakarta Barat, Bandung, dan Surabaya. Di sepuluh
kota/kabupaten tersebut, upaya penanggulangan HIV/AIDS mencakup surveilans oleh
Departemen Kesehatan yang terdiri dari surveilans serologis HIV dan survei surveilans
perilaku yang antara lain didukung oleh program ASAFHI/
USAID. Di tujuh kota/kabupaten
di antaranya, penelitian prevalensi ISR pada WPS ini merupakan yang kedua, kelanjutan
dari penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2003. Kedua penelitian ini diharapkan dapat
menjadi dasar untuk pengembangan sistem surveilans IMS, sebagai bagian dari surveilans
generasi kedua dengan menggabungkan data dari surveilans perilaku dan HIV. Dalam
jangka pendek, data prevalensi dari penelitian ini dapat digunakan untuk mengevaluasi
program IMS sejak tahun 2003, advokasi, dan perencanaan program oleh Dinas Kesehatan
dan KPAD Provinsi Papua, serta Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota Jayapura, LSM,
maupun program dari lembaga donor.
4 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005 >
5
II
TUJUAN
T ujuan utama penelitian ini adalah untuk mengukur prevalensi infeksi gonore,
klamidia, sifilis, herpes simpleks tipe dua, trikomoniasis vaginalis, bakterial
vaginosis, dan kandidiasis vaginal pada WPS di Jayapura, Papua.
Di samping itu, penelitian ini juga mendeskripsikan karakteristik demografis dan perilaku
seksual berisiko tinggi para WPS yang diteliti.
6 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005 >
7
III
i n = Jumlah sampel
Z = Nilai uji – t statistik pada batas kepercayaan 95% atau setara dengan 1.96
P = Proporsi praduga ISR yang akan diteliti
d = Perkiraan penyimpangan terhadap nilai prevalensi sebenarya (true prevalence) yang besarnya disesuaikan
dengan prevalensi. Secara umum nilai d yang sering dianggap bermakna adalah 5%.
METODA
III.1 Rancangan Penelitian dan Populasi yang Diteliti
Penelitian ini mengukur prevalensi ISR secara crosssectional.
Populasi yang diteliti adalah
WPS berusia 15 hingga 50 tahun, sedang tidak menstruasi, dan tidak hamil. Para WPS
tersebut termasuk:
v PS langsung, yang secara langsung menjajakan seks baik di jalanan maupun
di lokalisasi atau eks lokalisasi
v WPS tidak langsung, yang mempunyai pekerjaan utama lain tetapi juga
secara tidak langsung menjajakan seks di tempattempat
hiburan seperti
pramupijat, pramuria bar / karaoke
III.2 Strategi Penghitungan dan Pengambilan Sampel
Perhitungan besar sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan praduga
proporsi dalam satu sampel. 13 Ratarata
proporsi praduga, yang dihitung dari ratarata
prevalensi beberapa ISR pada penelitian sebelumnya (gonore 27,12%, infeksi klamidia
24,71%, trikomoniasis 9,50%, sifilis 4,12%, bakterial vaginosis 27,35%) adalah 19%. 11
Penghitungan besar sampel dengan rumus i ( )
2
2 1
d
n Z P P
´ ´ -
= dengan batas
kepercayaan (CI) 95% dan penyimpangan terhadap nilai prevalensi sebenarnya 5%,
didapatkan besar sampel minimal 237.
8 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005 >
Untuk menjaga agar perkiraan penyimpangan tidak terlalu jauh dari 5% pada prevalensi
ISR yang lebih tinggi dari proporsi praduga yang digunakan dan mempertimbangkan aspek
pembiayaan maka jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini dinaikkan
menjadi 250.
Diperkirakan 25% dari WPS yang diundang tidak hadir atau tidak memenuhi kriteria, maka
sekitar 333 WPS akan diundang untuk berpartisipasi. Rasio sampel WPS langsung dan
tidak langsung ditetapkan secara proporsional sesuai dengan besarnya populasi.
Pemetaan populasi yang akan diteliti dilakukan sebagai dasar penyusunan kerangka
sampel. Berdasarkan proporsi besar populasi WPS langsung dan tidak langsung,
ditetapkan jumlah masingmasing
populasi yang akan diundang untuk berpartisipasi.
Selanjutnya dilakukan proses pengambilan sampel dua tahap. Pada tahap pertama
dilakukan pengambilan sampel kluster secara probability proportional to size (pps). Pada
tahap kedua dilakukan pengambilan sampel WPS secara acak di dalam kluster terpilih.
III.3 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Jayapura, Papua pada tanggal 27 Mei 3
Juni 2005.
III.4 Tim Pengumpul Data
Data dikumpulkan oleh tim inti yang bekerja sama dengan tim keliling dan tim lokal. Tim
inti terdiri dari ketua pelaksana dan peneliti utama yang dibantu oleh 5 dari 8 peneliti
penyerta yang berasal dari Ditjen PP&PL, Badan Litbangkes, dan Program ASA/FHI. Tim
keliling terdiri dari staf Badan Litbangkes dan staf dari beberapa LSM yang selama ini
bekerja sama dengan Program ASA/FHI di Semarang dan Bitung. Tim lokal diatur oleh
Provinsi masingmasing,
yang dalam penelitian di Jayapura terdiri dari staf Dinas
Kesehatan dan Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Papua, wakil dari Persatuan
Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Jayapura yang ditunjuk oleh Dinas Kesehatan,
Puskesmas Waris, RS Dok II, RS Dian Harapan, dan LSM (PKBI Jayapura dan Yayasan
Harapan Ibu). Kualitas teknis proses pengambilan data dipantau oleh pemantau teknis
9
dari Departemen Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo.
III.5 Alur Proses Pengambilan Data
WPS yang datang memenuhi undangan untuk menjadi peserta penelitian diminta
menukarkan undangan dengan kartu nomor identifikasi. Tujuan, prosedur penelitian serta
keuntungan yang akan didapat dan kemungkinan efek samping dijelaskan. Setelah
memperoleh penjelasan, apabila WPS tersebut bersedia ikut dalam penelitian, ia diminta
memberikan pernyataan persetujuan (informed consent) secara lisan. Seorang saksi
akan ikut menandatangani surat persetujuan tersebut. WPS tidak dimintai persetujuan
secara tertulis dengan tanda tangan sebagai bagian dari upaya membuat penelitian ini
anonymous serta untuk melindungi WPS dari risiko mendapatkan perlakuan diskriminatif
maupun kekerasan lain yang tidak diinginkan dari pihak manapun.
Pengambilan data dimulai dengan wawancara tentang karakteristik demografis dan perilaku
seksual, dilanjutkan dengan pengambilan spesimen darah, pemeriksaan fisik, serta
pengambilan spesimen endoservikal dan servikovaginal. Setelah pemeriksaan
laboratorium sederhana dan serologis sifilis selesai, peserta dikonseling untuk perubahan
perilaku, diberi terapi sesuai diagnosis, dan diberi kondom. Agar pengobatan dapat
diberikan pada hari yang sama, diagnosis dibuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium sederhana. Diagnosis servisitis dianggap mencakup gonore
dan klamidia, serta pengobatan yang diberikan adalah pengobatan untuk kedua penyebab
infeksi tersebut sekaligus.
10 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005 >
III.6 Diagnosis dan Pengobatan 15,16
Tabel 2. Daftar diagnosis dan pengobatan yang diterapkan
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005
Diagnosis Dasar Diagnosis Pengobatan
Servisitis
Ditemukannya duh tubuh/cairan
keputihan (muko/seropurulen)
endoserviks atau ditemukannya
diplococci intraseluler atau
ditemukannya lebih dari 30 sel darah
putih pada pemeriksaan mikroskopik
sediaan apus endoserviks dengan
pengecatan methylene blue.
Cefixime 400 mg dosis
tunggal dan Doxycycline 100
mg dua kali per hari selama 7
hari
Trikomoniasis
Ditemukannya morfologi dan motilitas
Trichomonas vaginalis pada
pemeriksaan mikroskopik dengan
sediaan basah dari cairan forniks
posterior.
Metronidazole 2 gram dosis
tunggal per oral.
Bakterial
vaginosis
Apabila 3 dari 4 indikator berikut positif.
Indikator: adanya duh tubuh vagina
keabuabuan,
dari pemeriksaan cairan
vagina ditemukan clue cells, whiff test,
pH vagina lebih dari 4,5.
Metronidazole 2 gram dosis
tunggal per oral.
Kandidiasis
Ditemukannya ragi bertunas (budding
yeasts) dan atau pseudohyphae pada
pemeriksaan mikroskopik cairan vagina
dengan KOH 10%.
Nystatin 100.000 IU intra
vaginal, satu tablet per hari
selama 2 minggu.
Sifilis Apabila uji serum darah RPR positif,
dan uji serum darah TPHA positif.
Benzathine Penicilline 2,4 juta
IU, suntikan intra muskular,
sekali seminggu selama 3
minggu berturutturut.
Bila
ada riwayat alergi penicillin,
terapi diganti dengan
Doxycycline 100 mg per oral,
2 kali per hari selama 30 hari.
11
III.7 Pemeriksaan Laboratorium
Dasar diagnosis yang digunakan untuk pengukuran prevalensi tidak sama dengan dasar
diagnosis untuk kepentingan pengobatan seperti tertera dalam tabel 1 di atas, kecuali
untuk bakterial vaginosis, kandidiasis vaginalis, dan sifilis. Pemeriksaan laboratorium yang
menjadi dasar diagnosis untuk pengukuran prevalensi ISR tertera dalam tabel 3 di bawah.
Tabel 3. Pemeriksaan Laboratorium yang menjadi
Dasar Pengukuran Prevalensi ISR
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005
Diagnosis Tes Laboratorium Sampel Biologis Tempat Tes
Gonore Polymerase Chain
Reaction, Amplicor ®
Cairan
endoserviks
Laboratorium Badan
Litbangkes
Klamidia Polymerase Chain
Reaction, Amplicor ®
Cairan
endoserviks
Laboratorium Badan
Litbangkes
Trikomoniasis Kultur, In Pouch ® Cairan
endoserviks Klinik Setempat
Herpes Simpleks
Virus Type 2
Deteksi Ig G, metoda
EIA Serum Laboratorium Badan
Litbangkes
12 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005 >
13
IV
HASIL
IV.1 Rekrutmen
Sampel WPS tidak langsung diambil dari bar, karaoke, dan pub yang tersebar di Jayapura.
Sedangkan sampel WPS langsung diambil dari lokalisasi Tanjung Elmo dan jalanan
(Abepura, Hamadi, Jayapura, Terminal, Dok IX).
Tabel 4. Realisasi sampel
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005
Dari 147 WPS langsung yang diundang, ternyata 166 orang hadir (lebih dari yang diundang).
Di antara mereka terdapat 1 orang menolak ikut serta (takut diambil darahnya), 14 orang
tidak memenuhi kriteria (6 orang sedang menstruasi, 1 orang dengan riwayat histerektomi,
5 orang mengaku bukan WPS, sedang 1 orang sedang hamil). Di antara 244 WPS tidak
langsung yang hadir, 38 orang menolak (1 orang menolak ikut serta, 1 orang takut
pemeriksaan fisik, 36 orang tidak bersedia menunggu lama).
Kelompok Besar
Populasi Diundang Hadir Menolak
Tidak
penuhi
kriteria
Gugur
dalam
sampling
Ikut
Serta
WPS
Langsung 430 147 166 1 14 27 124
WPS Tidak
Langsung 505 257 244 38 35 45 126
Total 935 404 410 39 49 72 250
14 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005 >
IV.2 Karakteristik Populasi yang Diteliti
Secara umum, umur WPS di Jayapura berkisar antara 16 46
tahun. Mungkin ada WPS
yang berusia di bawah 15 tahun atau di atas 50 tahun, namun mereka tidak memenuhi
kriteria untuk diikutsertakan dalam penelitian ini.
Umur WPS langsung berkisar antara 16 46
tahun, dengan median 29 tahun. Sedangkan
umur WPS tidak langsung berkisar antara 17 40
tahun, dengan median 24 tahun. Data
yang diperoleh memperlihatkan bahwa WPS tidak langsung di Jayapura cenderung lebih
muda dibandingkan dengan WPS langsung. Distribusi umur WPS penting untuk
diperhatikan, karena makin muda umur seorang wanita, makin rawan tertular IMSHIV.
Median umur pertama kali berhubungan seks WPS langsung 16 tahun dan WPS tidak
langsung 18 tahun. Umur termuda saat pertama kali berhubungan seks WPS langsung
11 tahun, dan WPS tidak langsung 12 tahun. Sebagian terbesar WPS langsung maupun
tidak langsung telah berhubungan seks sebelum usia 20 tahun. Dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya, data dari penelitian ini tidak berbeda. 12
Tingkat pendidikan WPS langsung lebih rendah dibandingkan yang tidak langsung. Tiga
perempat WPS langsung berpendidikan SMP ke bawah, sedangkan lebih dari tiga
perempat WPS tidak langsung berpendidikan SMP ke atas. Terdapat juga WPS langsung
yang memiliki latar belakang pendidikan perguruan tinggi / akademi.
Hanya 3% WPS langsung dan 21% tidak langsung yang masih dalam status menikah,
tetapi ada 44% WPS langsung dan 51% yang tidak langsung yang mempunyai pacar.
Namun status menikah dan mempunyai pacar tidak bersifat mutually exclusive (yang
berstatus menikah dapat juga mempunyai pacar). Di antara WPS yang tidak menikah,
sebagian besar berstatus cerai hidup, sebagian kecil cerai mati, dan sebagian lagi memang
belum menikah.
15
Terdapat 46% WPS langsung dan 34% WPS tidak langsung yang tidak memakai alat
kontrasepsi apapun. Di antara yang memakai kontrasepsi, sebagian besar dengan metoda
hormonal (suntik atau pil). Tidak ada WPS tidak langsung dan hanya 1% WPS langsung
yang memakai kondom sebagai alat kontrasepsi.
Median lama kerja WPS langsung 2 tahun. Masa kerja terlama 17 tahun. Median lama
kerja WPS tidak langsung 7.5 bulan, masa kerja terlama 6 tahun. Secara umum tampaknya
masa kerja WPS langsung lebih lama dibandingkan WPS tidak langsung. Dalam penelitian
ini dibedakan antara lama kerja sebagai WPS dan lama kerja sebagai WPS khusus di
lokasi yang diteliti, karena dari penelitian terdahulu diketahui bahwa WPS sering berpindahpindah
lokasi kerja. Hampir 50% dari WPS langsung dan 75% dari WPS tidak langsung
yang diteliti baru bekerja di lokasi penelitian selama kurang dari setahun.
Sebagian besar WPS di Jayapura berasal dari Jawa Timur, terutama WPS langsung.
Hampir setengah dari WPS tidak langsung di Jayapura berasal dari Sulawesi Utara. Ada
juga WPS yang berasal dari Papua maupun provinsi lain seperti Jawa Barat, Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan, Sumatera Utara dan Yogyakarta.
16 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005 >
(n= 124) (n= 126) (n= 250)
<20 Tahun 10 (8%) 17 (13%) 27 (11%)
2024
Tahun 18 (15%) 51 (40%) 69 (28%)
2529
Tahun 38 (31%) 30 (24%) 68 (27%)
3034
Tahun 35 (28%) 18 (14%) 53 (21%)
3539
Tahun 12 (10%) 9 (7%) 21 (8%)
4050
Tahun 11 (9%) 1 (1%) 12 (5%)
Ratarata
umur (tahun)
<15 Tahun 34 (27%) 12 (10%) 46 (18%)
1519
Tahun 79 (64%) 89 (71%) 168 (67%)
2024
Tahun 10 (8%) 23 (18%) 33 (13%)
>=25 Tahun 1 (1%) 2 (2%) 3 (1%)
Ratarata
(tahun)
Tidak Pernah Sekolah 8 (6%) 0 (0%) 8 (3%)
SD 66 (53%) 18 (14%) 84 (34%)
SMP 31 (25%) 55 (44%) 86 (34%)
SMA 18 (15%) 53 (42%) 71 (28%)
Akademi/PT 1 (1%) 0 (0%) 1 (0%)
Pacar 55 (44%) 64 (51%) 119 (48%)
Menikah 4 (3%) 26 (21%) 30 (12%)
Belum Menikah 25 (20%) 43 (34%) 68 (27%)
Cerai Hidup 75 (60%) 52 (41%) 127 (51%)
Cerai Mati 20 (16%) 5 (4%) 25 (10%)
pil 15 (12%) 21 (17%) 36 (14%)
suntik 47 (38%) 55 (44%) 102 (41%)
spiral 1 (1%) 3 (2%) 4 (2%)
kontap 1 (1%) 2 (2%) 3 (1%)
kondom 1 (1%) 0 (0%) 1 (0%)
tidak pakai 57 (46%) 43 (34%) 100 (40%)
lainnya 2 (2%) 2 (2%) 4 (2%)
< 6 bulan 20 (16%) 46 (37%) 66 (26%)
6 bulan 1
tahun 22 (18%) 42 (33%) 64 (26%)
1 2
tahun 27 (22%) 23 (18%) 50 (20%)
2 4
tahun 36 (29%) 12 (10%) 48 (19%)
> 4 tahun 19 (15%) 3 (2%) 22 (9%)
Ratarata
(Bulan)
< 6 bulan 32 (26%) 57 (45%) 89 (36%)
6 bulan 1
tahun 25 (20%) 44 (35%) 69 (28%)
1 2
tahun 23 (19%) 16 (13%) 39 (16%)
2 4
tahun 25 (20%) 7 (6%) 32 (13%)
> 4 tahun 19 (15%) 2 (2%) 21 (8%)
Ratarata
(Bulan)
Pasangan Tetap & Status Pernikahan
16 18 17
Umur Pertama Kali Berhubungan Seks
Kelompok Umur
29 25 27
WPS Langsung WPS Tidak Langsung Total
Pendidikan
10 19
Lama Bekerja Sebagai WPS
Lama BekerjaSebagai WPS di Lokasi Sekarang
34 12 23
29
Alat Kontrasepsi
Tabel 5. Karakteristik Populasi yang Diteliti
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005
17
Gambar 1. Provinsi Tempat Asal WPS, Jayapura
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005
Sebanyak 40 WPS langsung menyatakan pernah menjual seks di provinsi lain. Provinsi
yang pernah menjadi lokasi para WPS tersebut dalam dua tahun terakhir, antara lain
Jawa Tengah (1 WPS), Jawa Timur (19), Kalimantan Barat (1), Kalimantan Timur (4),
Sulawesi Selatan (2), Maluku (2), Maluku Utara (2), dan Papua (9). WPS tidak langsung
yang menyatakan pernah menjual seks di provinsi lain dalam dua tahun terakhir ada 21
orang, yaitu di DKI Jakarta (1), Jawa Tengah (1), Jawa Timur (8), Bali (1), Kalimantan
Timur (1), Sulawesi Selatan (1), Sulawesi Utara (3), Maluku (1), dan Papua (4).
Median jumlah pelanggan dalam satu minggu terakhir untuk WPS langsung 3 orang dan
WPS tidak langsung 1 orang.
18 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005 >
Gambar 2. Jumlah Pelanggan Dalam Satu Minggu Terakhir
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005
Walaupun sebagian besar WPS langsung (73%) dan tidak langsung (42%) menyatakan
tidak mengetahui apa pekerjaan para pelanggan terbanyak mereka, gambar 3 dan 4 masih
menunjukkan pelanggan terbanyak para WPS berasal dari berbagai macam latar belakang
pekerjaan. PNS (pegawai negeri sipil) dinyatakan sebagai pelanggan terbanyak oleh
sebagian terbesar WPS yang mengetahui latar belakang pekerjaan pelanggan mereka
(6% WPS langsung, 26% WPS tidak langsung). Pelanggan terbanyak yang lainnya terdiri
dari kelompok lakilaki
yang selama ini dianggap berperilaku seksual risiko tinggi (supir,
orang asing) maupun yang selama ini dianggap kurang/tidak berperilaku seksual risiko
tinggi (karyawan swasta, TNI/Polri, pedagang, buruh, pengangguran, dan pelajar). Hal ini
tidak berbeda dari hasil penelitian sebelumnya.
19
Gambar 3. Pelanggan Terbanyak WPS Langsung Dalam 1 Minggu Terakhir
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005
Terdapat perbedaan proporsi jenis pelanggan antara WPS langsung dan tidak langsung.
Proporsi WPS tidak langsung yang menyatakan pelanggan terbanyak mereka adalah
pegawai swasta, polisi/TNI, dan PNS jauh lebih besar dibandingkan WPS langsung.
Gambar 4. Pelanggan Terbanyak WPS Tidak Langsung Dalam 1 Minggu Terakhir
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005
20 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005 >
IV.3 Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik dengan spekulum untuk melihat vagina dan endoserviks, tanda
yang didapatkan terbanyak adalah cairan tidak jernih dari vagina, yaitu pada 88 WPS
langsung (71%) dan 115 WPS tidak langsung (91%). Cairan tidak jernih dari endoserviks
ditemukan pada 63 WPS langsung (51%) dan 94 WPS tidak langsung (75%). Ditemukan
1 orang dengan ulkus pada pemeriksaan fisik.
IV.4 Prevalensi ISR
Pada penelitian ini ditemukan prevalensi gonore dan klamidia secara umum sebesar
30% dan 44%. Pada WPS langsung prevalensi gonore sebesar 34% dan prevalensi
klamidia sebesar 33%, pada yang tidak langsung sebesar 26% dan 56%. Infeksi ganda
gonore dan klamidia dilaporkan sering terjadi, yaitu secara umum 16%; pada WPS
langsung 15%, dan yang tidak langsung 18%.
Prevalensi trikomoniasis vaginalis secara umum 24%, pada WPS langsung 15% dan
yang tidak langsung 33%. Prevalensi bakterial vaginosis secara umum 57%, pada WPS
langsung 46% dan yang tidak langsung 67%. Prevalensi vaginal kandidiasis secara umum
7%, pada WPS langsung 4% dan yang tidak langsung 10%.
Prevalensi sifilis laten secara umum 6%, pada WPS langsung 9%, dan yang tidak langsung
3%. Prevalensi serologi positif (Immunoglobulin G) herpes simpleks tipe 2 secara umum
94%: pada WPS langsung 97% dan yang tidak langsung 90%.
21
Gambar 5. Prevalensi ISR yang Diteliti
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005
IV.5 IMS Tanpa Tanda
Dalam penelitian ini ditemukan 19 (25%) kasus gonore, 33 (30%) kasus klamidia
(pemeriksaan PCR), 15 (100%) kasus sifilis, dan 234 (100%) kasus dengan infeksi herpes
simpleks tipe 2 yang tidak menunjukkan tanda pada pemeriksaan fisik.
IV.6 Perilaku Berisiko
IV.6.1 Pemakaian Kondom
Penggunaan kondom yang konsisten (selalu menggunakan kondom dalam setiap
hubungan seks) merupakan perilaku yang efektif untuk mencegah penularan IMSHIV.
Dalam kurun waktu seminggu terakhir, hanya 42% WPS langsung dan 37% WPS tidak
langsung yang selalu menggunakan kondom waktu berhubungan seks dengan
pelanggannya, walaupun 87% WPS langsung dan 48% WPS tidak langsung secara
konsisten selalu menawarkan penggunaan kondom kepada klien mereka. Terdapat 11%
WPS langsung yang tidak pernah menawarkan pemakaian kondom dan 8% yang tidak
pernah memakai kondom dalam seminggu terakhir, sedangkan pada WPS tidak langsung
22 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005 >
48% tidak pernah menawarkan dan 52% tidak pernah memakai kondom. Perilaku kadangkadang
memakai kondom terdapat pada 50% WPS langsung dan 11% yang tidak
langsung.
Gambar 6. Konsistensi Menawarkan Kondom Selama Seminggu Terakhir
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005
23
Gambar 7. Konsistensi Menggunakan Kondom Selama Seminggu Terakhir
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005
V.6.2 Perilaku Pencegahan yang Keliru
Terdapat sedikitnya dua macam perilaku pencegahan terhadap IMSHIV
yang keliru. Yang
pertama adalah minum antibiotik dengan dosis tidak tepat yang dipraktekkan oleh 27%
WPS langsung dan 46% WPS tidak langsung. Antibiotik yang diminum antara lain
tetrasiklin, ampisilin, amoksisilin, doksisiklin, metronidazole, rifampicin, tiamfenikol, dan
siprofloksasin.
Perilaku pencegahan kedua yang keliru adalah cuci vagina, yang dilakukan sendiri oleh
82% WPS langsung dan 75% WPS tidak langsung. Yang dimaksud dengan cuci vagina
ialah membersihkan liang vagina dengan cara memasukkan cairan sampai mulut rahim.
Cuci vagina dilakukan menggunakan bermacam bahan seperti odol/pasta gigi, sabun, air
sirih, dan produk kimia cairan cuci vagina yang diiklankan di media massa.
24 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005 >
IV.6.3 Perilaku Pengobatan IMS
Pada penelitian ini dijumpai 24% WPS (langsung 17%, tidak langsung 32%) yang
mempunyai keluhan/gejala IMS, seperti keputihan, kutil dan/atau luka di kemaluan, dan
pembengkakan kelenjar lipat paha. Dalam 3 bulan terakhir, ketika mengalami gejala IMS,
sebagian besar WPS (54% WPS langsung, 75% WPS tidak langsung) tidak melakukan
pengobatan yang benar (sama sekali tidak diobati dan/atau beli obat sendiri). Bagi yang
berobat, terdapat 4 tempat berobat yang sering didatangi yaitu klinik swasta (termasuk
klinik LSM), puskesmas, rumah sakit, dan praktek swasta.
Gambar 8. Perilaku Pengobatan IMS
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005
Terdapat sedikit perbedaan pola perilaku pengobatan antara WPS langsung dengan tidak
langsung. Sebagian terbesar WPS langsung yang berobat, memilih berobat ke klinik
swasta (dalam hal ini klinik LSM yang melaksanakan program HIV/AIDS bagi WPS
langsung), sedangkan lebih banyak WPS tidak langsung berobat ke dokter praktek, rumah
sakit, atau puskesmas.
25
Ada dua perilaku pengobatan yang salah, yang pertama adalah tidak mengobati sama
sekali, dilakukan oleh 23% WPS langsung dan 19% yang tidak langsung), yang kedua
adalah membeli obat sendiri/mengobati sendiri, oleh 27% WPS langsung dan 54% yang
tidak langsung.
IV.7 Cakupan Program
Dalam dua tahun terakhir telah dilaksanakan program penjangkauan dan klinik IMS bagi
WPS langsung maupun tidak langsung di Jayapura. Ternyata jauh lebih banyak WPS
langsung yang telah dicakup dalam kedua program tersebut. Baik WPS langsung maupun
tidak langsung, lebih banyak dicakup oleh program penjangkauan daripada klinik IMS.
Gambar 9. Cakupan Program Penjangkauan Bagi WPS dalam 3 Bulan Terakhir
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005
26 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005 >
Gambar 10. Cakupan Program Klinik IMS Bagi WPS dalam 3 Bulan Terakhir
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005
27
V
DISKUSI
P revalensi IMS dan ISR pada WPS di Jayapura tahun 2005 tergolong tinggi.
Prevalensi gonore pada WPS langsung lebih tinggi dari prevalensi pada WPS
tidak langsung dan sebaliknya pada infeksi klamidia. Prevalensi klamidia pada
WPS tidak langsung sangat tinggi, yaitu 56%. Hal ini mungkin disebabkan selama ini
pemakaian obat lebih diutamakan untuk infeksi gonore.
Pada WPS tidak langsung prevalensi trikomoniasis, kandidiasis dan bakterial vaginosis
lebih besar daripada WPS langsung (antara satu setengah sampai dua kali). Prevalensi
sifilis laten pada WPS langsung sekitar 3 kali lebih besar daripada WPS tidak langsung.
Metoda pemeriksaan laboratorium yang digunakan sebagai dasar pengukuran prevalensi
infeksi gonore, klamidia, dan trikomonas vaginalis pada tahun 2003 berbeda dari yang
digunakan pada tahun 2005. Pada tahun 2003, infeksi gonore dan klamidia dites dengan
deteksi DNA (GenProbe ® ), sedangkan pada tahun 2005 dengan PCR / Polymerase
Chain Reaction (Amplicor ® ). Metoda pemeriksaan laboratorium untuk trikomoniasis pada
tahun 2003 adalah dengan sediaan basah, sedangkan pada tahun 2005 secara kultur (In
Pouch ® ).
Penelitian pada tahun 2003 mengukur prevalensi ISR pada WPS langsung saja, yaitu
WPS jalanan dan WPS lokalisasi, tidak mengukur prevalensi pada WPS tidak langsung.
Untuk membandingkan prevalensi gonore dan klamidia tahun 2003 dengan 2005 dilakukan
perhitungan konversi berdasarkan hasil tes GenProbe pada 70 subsampel
(20% dari
total sampel). Diperoleh estimasi secara umum prevalensi tahun 2005 untuk gonore 26%
dan klamidia 27%. Dibandingkan dengan tahun 2003, prevalensi gonore dan klamidia
pada WPS langsung, tampak adanya peningkatan untuk gonore (22% menjadi 31%),
sedangkan klamidia tidak banyak berubah (21% dan 19%).
28 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005 >
Tabel 6 . Perhitungan Perkiraan Prevalensi Gonore dan Klamidia
dengan Genprobe
Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di Jayapura, Papua, 2005
Untuk membandingkan prevalensi trikomoniasis tahun 2003 dan 2005 dilakukan
perbandingan hasil pembacaan sediaan basah, dengan hasil prevalensi secara umum
8%. Khusus pada WPS langsung, dibandingkan dengan hasil penelitian tahun 2003,
prevalensi trikomoniasis tidak berbeda (7% dan 8%).
Dibandingkan dengan tahun 2003, hasil tahun 2005 menunjukkan prevalensi bakterial
vaginosis yang jauh lebih tinggi, kandidiasis vaginalis yang jauh lebih rendah dan prevalensi
sifilis yang tidak jauh berbeda (lihat Tabel 7).
Gonore Klamidia
# Genprobe positif pada spesimen dengan
Genprobe & PCR 17/69 18/69
# PCR positif pada spesimen dengan Genprobe
& PCR 20/69 30/69
Rasio Genprobe : PCR 17/20 = 0.85 18/30 = 0.60
# spesimen positif pada spesimen tanpa
Genprobe 55/181 81/181
Perkiraan Genprobe positif pada spesimen
tanpa Genprobe 55 x 0.85 = 47 81 x 0.60 = 49
Perkiraan total spesimen positif dengan
Genprobe 17 + 47 = 64/250 18 + 49 = 67/250
Perkiraan Prevalensi dengan Genprobe 26% 27%
Prevalensi dengan PCR 30% 44%
29
W PS Langsung W PS Tidak Langsung
2003
N=250
2005
N=124
2003
N=0
2005
N=126
G onore 22% 31% ** 20%**
Klam idiasis 21% 19% ** 35%**
Trikom oniasis 7% 8% ** 28%**
Bakterial vaginosis 20% 46% 67%
Kandidiasis 26% 4% 10%
Sifilis 7% 9% 3%
Tabel 7. Prevalensi ISR Pada WPS Langsung dan Tidak Langsung
Jayapura 2003 dan 2005
**Angka penyesuaian
Kandidiasis vaginalis dan bakterial vaginosis tidak ditularkan melalui hubungan seksual,
melainkan merupakan infeksi yang berlokasi di saluran reproduksi. Kedua infeksi ini
mengakibatkan gangguan epitel vagina sehingga meningkatkan kerawanan terhadap infeksi
HIV. Adanya bakterial vaginosis menunjukkan bahwa keseimbangan flora normal vagina
terganggu, yaitu berkurangnya jumlah lactobacilli sehingga pH vagina menjadi basa, suatu
keadaan yang kondusif untuk infeksi HIV. 17
Prevalensi HSV2
tidak diukur pada penelitian tahun 2003. Hasil pengukuran prevalensi
pada tahun 2005 ini sangat tinggi (94% total, 97% WPS langsung, 90% WPS tidak
langsung). Hasil penelitian ini masih dalam kisaran yang sama dengan yang pernah dikutip
oleh Ashley dan Wald yaitu prevalensi serologis HSV2
pada WPS di berbagai negara di
seluruh dunia berkisar antara 60% 90%,
18 namun lebih tinggi dari yang pernah dilaporkan
oleh Sulastomo pada tahun 2003 yaitu prevalensi IgG HSV2
pada WPS Jalanan (n=79)
di Jakarta sebesar 60%. 19
30 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005 >
Infeksi virus herpes simpleks bersifat infeksi yang menetap seumur hidup, meskipun
tidak selalu menunjukkan manifestasi klinis. Menurut Patrick dan Money, sekitar 80%
kasus serologis HSV positif tidak disertai riwayat gejala. 20
Manifestasi klinis bersifat kambuhan dari waktu ke waktu, termasuk jika kekebalan
seseorang menurun akibat infeksi HIV (menjadi infeksi oportunistis). Sifat kambuhan ini
merupakan beban kesehatan maupun psikoseksual bagi penderitanya. Infeksi yang
bersifat seumur hidup mempunyai arti si penderita menjadi sumber penularan seumur
hidupnya, walaupun sebagai kasus subklinis
/ tanpa gejala daya penularannya jauh lebih
rendah dibandingkan dengan yang disertai gejala klinis berupa lesi atau ulkus herpetik.
Namun karena tidak adanya lesi, aktivitas seksual tetap tinggi sehingga penularan infeksi
virus herpes simplek terutama terjadi dari penderita tanpa gejala klinis. Walaupun gejala
klinis infeksi ini ringan pada pihak sumber penularan, manifestasinya pada pihak yang
tertular dapat lebih berat. 21,22,23
Penelitian ini menunjukkan banyaknya ISR tanpa tanda dan tanpa gejala. Karena itu,
dibutuhkan program penapisan IMS secara berkala di kalangan WPS dengan pemeriksaan
penunjang, sekurangkurangnya
pemeriksaan laboratorium sederhana.
Sebagaimana diketahui, IMS dan ISR mempermudah penularan HIV. Prevalensi IMS yang
tinggi pada WPS di Jayapura merupakan pertanda risiko penyebaran HIV yang makin
meluas melalui jejaring hubungan seksual antara WPS dengan pelanggan dan pelanggan
dengan isteri/pasangan seks tetapnya. Tetap tingginya prevalensi IMS di Jayapura
menunjukkan bahwa memang perilaku seksual berisiko masih banyak terjadi. Pada
gambar 7 tampak rendahnya pemakaian kondom oleh para WPS, bahkan masih banyak
yang tidak memakai.
Selain meningkatkan risiko penyebaran HIV, tingginya prevalensi IMS dan ISR disertai
perilaku pengobatan yang keliru, seperti mengobati sendiri dan tidak diobati (gambar 8)
dapat menimbulkan beban penyakit yang tinggi dan masalah sosial yang cukup besar di
kemudian hari. Komplikasi yang dapat timbul, baik pada WPS maupun pelanggan serta
isteri/anak dari pelanggan, antara lain: gonore dan klamidia dapat menyebabkan kelainan
pada bayi dan neonatus, kebutaan pada anak dan dewasa, penyakit radang panggul,
kehamilan ektopik / di luar kandungan, infertilitas / kemandulan pada lakilaki
maupun
31
wanita, dan striktura uretra / penyempitan saluran kencing pada lakilaki.
22,24
Ada dugaan terdapat infertilitas pada WPS yang diteliti akibat IMS berulang dan pengobatan
yang tidak tuntas. Dugaan ini didasarkan pada angka kehamilan yang rendah dengan
pemakaian kontrasepsi yang rendah, padahal mereka dalam usia reproduktif dan sangat
aktif secara seksual. Namun hal ini perlu diteliti lebih lanjut.
Koinfeksi
IMS dengan HIV dapat mengubah perjalanan alamiah IMS secara umum, antara
lain manifestasi klinis dapat lebih parah, IMS menjadi lebih mudah menular, masa penularan
IMS menjadi makin panjang, respon terhadap pengobatan menurun, dan mempercepat
perjalanan HIV menjadi AIDS. 23
Program penanggulangan IMS yang telah ada di Jayapura sangat penting dan perlu
ditingkatkan. Secara umum, program penanggulangan IMS mempunyai 3 tujuan, yaitu
untuk memutus rantai penularan IMS, memutus perjalanan alamiah penyakit dan
mencegah timbulnya komplikasi, serta menurunkan risiko penularan HIV. Strategi utama
terdiri dari: pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan penguatan komponen
pendukung. 23
Pencegahan primer terdiri dari intervensi perubahan perilaku untuk mengurangi perilaku
seksual berisiko (termasuk promosi, jaminan ketersediaan serta keterjangkauan kondom
di lokasi transaksi seks), menghindari perilaku pencegahan yang keliru, dan meningkatkan
perilaku mencari pengobatan IMS yang benar. 23,25
Cakupan program perubahan perilaku bagi WPS langsung di Jayapura telah cukup baik,
namun masih kurang bagi WPS tidak langsung (gambar 9: belum pernah dijangkau 15%
dan 40%). Perubahan perilaku pemakaian kondom tampaknya sedikit lebih baik pada
WPS langsung dibandingkan dengan yang tidak langsung (gambar 8: selalu pakai kondom
42% dan 37%, tidak pernah pakai kondom 8% dan 52%). Namun perubahan perilaku
tersebut belum mencapai yang diharapkan, karena dalam kenyataan prevalensi masih
tetap tinggi.
32 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005 >
Ada beberapa kemungkinan penyebabnya, antara lain:
pengakuan
tentang penggunaan kondom tidak sesuai kenyataan,
WPS
hanya memakai kondom dalam hubungan seks komersial sedangkan
penularan IMS dapat terjadi pula dalam hubungan seks nonkomersial,
WPS
telah tertular IMS sebelum mulai memakai kondom secara konsisten
dan tidak diobati dengan benar sehingga infeksi berlanjut.
Walaupun cakupan program telah cukup baik, namun dampaknya terhadap perilaku
pencegahan yang salah maupun perilaku pengobatan yang salah masih belum banyak
berhasil (IV.6.3 dan 4).
Cakupan program layanan IMS bagi WPS langsung di Jayapura juga telah cukup baik,
sedangkan untuk WPS tidak langsung masih kurang (gambar 10: belum pernah dijangkau
16% dan 90%). Walaupun telah cukup banyak WPS langsung yang mendapat layanan
IMS, bahkan sampai 23
kali (gambar 10: 68%), namun prevalensi IMS pada WPS
langsung masih tinggi dan tidak jauh berbeda dengan WPS tidak langsung yang masih
sangat kurang dijangkau layanan IMS. Penapisan dan pengobatan IMS saja, tanpa
peningkatan pemakaian kondom yang konsisten, tidak akan optimal menurunkan prevalensi
IMS. Hal itu terkait risiko pekerjaannya yang selalu terpapar kemungkinan infeksi dalam
melayani pelanggannya. Makin banyak jumlah pelanggan, makin besar kemungkinan salah
satu di antaranya menularkan IMSHIV
kepada WPS.
Penelitian ini menunjukkan bahwa kondom tidak banyak dipakai sebagai alat kontrasepsi,
sehingga ada peluang untuk bekerja sama dengan penyedia layanan KB/kontrasepsi agar
mereka menawarkan kondom sebagai metoda perlindungan ganda terhadap kehamilan
maupun penularan IMSHIV.
Program intervensi perubahan perilaku untuk menurunkan risiko perilaku seksual, terutama
promosi penggunaan kondom, sangat perlu menjangkau kelompok pelanggan WPS,
karena pelanggan lebih menentukan apakah kondom akan dipakai atau tidak pada setiap
transaksi seks. Jika jumlah pelanggan relatif sedikit (seperti ditunjukkan pada penelitian
ini – tabel 5), kekuatan negosiasi WPS untuk pemakaian kondom makin lemah, karena
mereka takut kehilangan pelanggan. 26
33
Berbagai kelompok lakilaki
perlu mendapat intervensi program, karena mereka semua
berpotensi menjadi pelanggan WPS (gambar 3 dan 4). Oleh karena itu, kerja sama dengan
berbagai instansi yang menjadi tempat bekerja atau berkumpulnya para pelanggan sangat
diperlukan. Khusus untuk Jayapura, PNS merupakan satu kelompok yang mutlak perlu
dijangkau karena cukup banyak WPS yang menyatakan mereka sebagai pelanggan
terbanyak. Hal ini juga sesuai dengan laporan BSS 2004 bahwa 30% PNS mengaku
pernah membeli seks dalam satu tahun terakhir. Selain pelanggan, suami dan pacar
WPS merupakan kelompok pasangan seks tetap para WPS yang perlu diperhatikan dalam
promosi penggunaan kondom. Sebuah penelitian di Vietnam menunjukkan bahwa WPS
cenderung melakukan hubungan seks yang lebih berisiko (tanpa kondom) dengan
pasangan yang mereka anggap aman (pacar atau suami). 27
Selain promosi kondom, program perlu juga mengoreksi perilaku pencegahan dan perilaku
pengobatan IMS yang salah, seperti minum antibiotika dan cuci vagina. Perilaku minum
antibiotik yang bersifat under/mistreatment
(pengobatan yang tidak tepat dosis maupun
tidak tepat pilihan) berpotensi menyebabkan resistensi mikroorganisme, tidak hanya untuk
IMS/ISR namun juga penyakit infeksi lainnya. Di samping itu, penggunaan antibiotika yang
berlebihan dapat menimbulkan efek samping jangka panjang (misal: penggunaan
tiamfenikol dapat menimbulkan efek samping penekanan produksi sel darah merah pada
sumsum tulang belakang). Mengingat seriusnya dampak pemakaian antibiotik, selain
intervensi program komunikasi untuk perubahan perilaku, distribusi / peredaran dan
perdagangan antibiotika harus diawasi dengan ketat sesuai peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Cuci vagina menyebabkan penipisan epitel vagina sehingga mempermudah terjadinya
luka sebagai pintu masuk IMSHIV.
Selain itu, cuci vagina mengubah pH vagina menjadi
basa. Kondisi vagina yang basa ini kondusif untuk pertumbuhan organisme penyebab
IMS. 28,29 Secara umum perilaku dan persepsi yang keliru ini kontra produktif terhadap
perilaku pencegahan yang benar, yaitu penggunaan kondom secara konsisten untuk
melindungi diri dari penularan IMSHIV,
karena timbul rasa aman yang semu.
34 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005 >
Pencegahan sekunder meliputi manajemen klinis IMS bagi penderita dengan diagnosis
dan terapi yang akurat, konseling dan rujukan pasangan seks, serta skrining/penapisan
berkala bagi kelompok berperilaku risiko tinggi. Untuk pencegahan sekunder dibutuhkan
sarana penyediaan layanan IMS yang dapat diterima dan dimanfaatkan oleh mereka yang
membutuhkan.
Beberapa hal berikut ini perlu diperhatikan oleh sarana penyedia layanan IMS. 24,26
Kualitas
layanan harus sesuai dengan standar prosedur tetap manajemen
klinis IMS
Sarana
dan prasarana fisik harus terawat dengan baik
Petugas
dapat berkomunikasi dengan baik, bersifat ramah dan bersikap tidak
menghakimi
Privasi
dan kerahasiaan pasien tetap dijaga
Jam
buka sesuai waktu luang WPS
Waktu
antri tidak terlalu lama
Lokasi
mudah dijangkau secara geografis maupun sosial (tidak menimbulkan
rasa takut)
Biaya
terjangkau
Di Jayapura telah ada klinik LSM yang menyediakan layanan IMS dengan memperhatikan
halhal
tersebut di atas. 30 Klinik inilah yang diidentifikasi sebagai klinik swasta yang
dikunjungi oleh WPS (gambar 8 dan 9). Di antara pilihan perilaku pengobatan yang benar,
berobat ke klinik swasta / LSM ini dipilih oleh lebih banyak WPS langsung yang telah lebih
banyak terpapar program.
Dalam tatalaksana IMS, apabila seorang WPS terinfeksi IMS, maka pasangan seks perlu
juga diobati untuk mencegah fenomena pingpong. Penelitian ini menunjukkan sebagian
besar WPS mempunyai pasangan seks tetap, baik suami maupun pacar, namun belum
diketahui apakah mereka telah terjangkau layanan IMS.
Progam penguatan komponen pendukung, sebagai strategi ketiga program
penanggulangan IMS, terdiri dari peningkatan kemampuan tenaga medis dan paramedis,
peningkatan kualitas laboratorium sederhana untuk diagnosis IMS, jaminan ketersediaan
35
obat dan manajemen program. Penguatan komponen pendukung ini akan sangat
menentukan peningkatan kualitas pencegahan sekunder. Tanpa adanya komponen
pendukung, program pencegahan sekunder akan sangat sulit dilaksanakan ataupun dijamin
kualitasnya. 23,24
Di samping ketiga strategi di atas, terdapat dua kegiatan lain yang penting untuk menunjang
program penanggulangan IMSHIV,
yaitu pengamatan penyakit/surveilans dan pengamatan
resistensi obat untuk gonore. Hasil pengamatan ini akan menjadi bahan untuk revisi
kebijakan program dan pengobatan IMS secara nasional. 23,24
Satu karakteristik WPS yang menarik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah umur
yang muda saat pertama kali berhubungan seks (median 17 tahun, termuda 12 tahun,
sebagian besar sebelum 20 tahun). Hasil ini tidak berbeda dengan laporan DKT
(Dharmendra Kumar Tyagi) Indonesia bahwa lebih dari 50% kawula muda di 4 kota besar
di Indonesia berhubungan seks pertama kali menjelang usia 18 tahun dan terdapat 16%
yang berhubungan seks pertama kali pada umur antara 13 dan 15 tahun. 30 Hal ini
menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi remaja perlu diberikan sedini
mungkin sebagai bekal menghindarkan diri dari tertular IMSHIV.
36 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005 >
37
VI
KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1 Kesimpulan
1. Prevalensi setiap jenis dari 7 ISR/IMS yang diteliti ternyata masih tinggi.
2. Sebagian besar kasus ISR/IMS tidak menunjukkan tanda dan gejala.
3. Konsistensi pemakaian kondom masih sangat rendah, bahkan perilaku sama sekali
tidak menggunakan kondom masih tinggi.
4. Proporsi perilaku pencegahan yang didasarkan pada persepsi yang salah tentang
antibiotik dan cuci vagina masih tinggi.
5. Proporsi perilaku pencarian pengobatan IMS yang salah (tidak diobati, diobati sendiri,
dan obat tradisional) juga masih tinggi.
6. Pelanggan WPS ternyata bukan hanya kelompok lakilaki
yang selama ini diasumsikan
berperilaku seksual risiko tinggi (ABK, nelayan, sopir), melainkan juga kelompok lain,
seperti TNI/Polri, PNS, pegawai swasta, buruh kasar, pedagang, pelajar/mahasiswa.
7. Jangkauan program penanggulangan IMSHIV/
AIDS masih terbatas.
VI.2 Saran
1. Program pencegahan primer IMS di Jayapura perlu diperkuat dan diperluas untuk
meningkatkan jangkauan, minimal 80% dari WPS jalanan, lokalisasi maupun tempat
hiburan, serta menjangkau sebanyak mungkin kelompok lakilaki.
2. Program pencegahan sekunder IMS di Jayapura berupa tatalaksana klinis IMS bagi
mereka yang terinfeksi perlu diperkuat dan dipermudah aksesnya bagi mereka yang
membutuhkan (pekerja seks, pelanggan pekerja seks).
38 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005 >
3. Program pencegahan sekunder IMS berupa skrining dan pengobatan periodik terhadap
pekerja seks perlu ditingkatkan dan diperluas untuk menjangkau WPS jalanan,
lokalisasi, dan tempat hiburan.
4. Institusi penyedia layanan IMS perlu dilengkapi dengan fasilitas laboratorium sekurangkurangnya
laboratorium sederhana.
5. Program penguatan komponen pendukung bagi penanggulangan IMS perlu
dilaksanakan untuk meningkatkan keberhasilan program pencegahan primer dan
sekunder yang sudah ada.
6. Peredaran antibiotika perlu diatur dengan lebih baik untuk mengurangi perilaku
pencegahan dan pengobatan IMS yang salah.
7. Pendidikan Kesehatan Reproduksi perlu diberikan sedini mungkin melalui berbagai
cara dan saluran di sekolah maupun luar sekolah.
8. Pengukuran prevalensi ISR (surveilans) perlu terus dilakukan secara periodik agar
didapat data guna memonitor, mengevaluasi dan merencanakan upaya
penanggulangan IMSHIV/
AIDS selanjutnya.
39
Referensi
1 Departem en Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Surveilans HIV. Jak arta; 2004.
2 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Republik Indonesia. HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual
Lainnya di Indonesia: Tantangan dan Peluang Untuk Bertindak. Jakarta: KPA Nasional RI;2001.
3 Surjadi C, Pariani S, Sumampouw J, Arief H. Penilaian Kedua Studi Prevalensi Penyakit Menular
Seksual pada Pekerja Seks Perempuan di Jakarta Utara, Surabaya, Manado/Semarang. Jakarta:
HIV/AIDS Prevention Project (HAPP)FHI
IndonesiaUSAID
dan Jaringan Epidemiologi Nasional;
2000.
4 Silitonga N, Donegan E, Wignall FS, Moncada J, Scachter J. Prevalence of N. gonorrhoeae and C.
trachomatis Infection among Commercial Sex Workers in Timika, Irian Jaya, Indonesia. Denver:
PT Freeport Indonesia, Timika, Irian Jaya and University of California San Francisco; 1999.
5 Rosana Y, Sjahrurachman A, Sedyaningsih ER, Simanjuntak CH, Arjoso S, Daili SF, Judarsono J,
Ningsih I. Studi resistensi N. gonorrhoeae yang diisolasi dari pekerja seks komersial di beberapa
tempat di Jakarta (Antimicrobial susceptibility pattern of N. gonorrhoeae isolated from female
comm ercial sex work ers in Jak arta). Jurnal Mikrobiologi Indonesia 1999, 4:2, 6063.
6 Presentasi Surveilans Sifilis dalam Pertemuan Evaluasi Surveilans, Ditjen PPM&PL, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 2005.
7 Miller P, Otto B. Prevalence of Sexually Transmitted Infections in Selected Populations in
Indonesia. Jakarta: Indonesia HIV/AIDS and STD Prevention and Care Project – AusAID; 2001.
8 Sedyaningsih ER, Rahardjo E, Lutam B, Oktarina, Sihombing S, Harun S. Validasi pemeriksaan
infeksi menular seksual secara pendekatan sindrom pada kelompok wanita berperilaku risiko
tinggi. Buletin Penelitian Kesehatan (2001) 28: 34,
460472.
9 World Health Organization and UNAIDS. Guidelines for Second Generation Surveillance for HIV:
The Next Decade. Geneva, W orld Health Organization (W HO/CDS/EDC/2000.05), 2000.
10 UNAIDS/WHO Working Group on Global HIV/AIDS/STI Surveillance. Guidelines for Effective
Use of Data from HIV Surveillance Systems. Geneva: 2004.
11 Jazan S, Sedyaningsih ER, Tanudyaya FK, Anartati AS, Gultom M, Purnamawati KA, Sutrisna A,
Nurjannah, Rahardjo E. Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi pada Wanita Penjaja Seks di Jayapura,
Banyuwangi, Semarang, Medan, Palembang, Tanjung Pinang, dan Semarang, Indonesia, 2003.
Jakarta: Direktorat Jendral PPMPLP Departemen Kesehatan Indonesia, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Indonesia, dan Aksi Stop AIDS Program – FHI
Indonesia – USAID; 2004.
12 Jazan S, Sedyaningsih ER, Tanudyaya FK, Anartati AS, Gultom M, Purnamawati KA, Sutrisna A,
Nurjannah, Rahardjo E. Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi pada Wanita Penjaja Seks di
Jayapura, Indonesia, 2003. Jakarta: Direktorat Jendral PPMPLP Departemen Kesehatan Indonesia,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Indonesia, dan Aksi Stop
AIDS Program – FHI Indonesia – USAID; 2004.
40 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI
INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS
DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005 >
13 Levy P & Lemeshow S. Sampling of populations: Methods and applications. New York, John Wiley &
Sons, 1991.
14 Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual . Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Direktorat Jenderal Pemberantasan PenyakitMenular dan Penyehatan Lingkungan; 2004.
15 Guidelines for the Managem ent of Sexually Transmitted Infections. W HO; 2001.
16 Schmid G, Markowitz L, Joesoef R, Koumans E. Bacterial Vaginosis and HIV. Sexually Transmitted
Infection 2003; 76(1):34.
17 Ashley RL, Wald A. Genital Herpes: Review of the Epidemic and Potential Use of TypeSpecific
Serology. Clinical Microbiology Reviews 1999, 12:1, 18.
18 Sulastomo E. Prevalens Serologik Imunoglobulin G Virus Herpes Simpleks1
dan Virus Herpes
Simpleks2
Pada Pekerja Seks Komersial Wanita di Panti Rehabilitasi (Panti Sosial Karya Wanita
"Mulya Jaya" Pasar Rebo, Jakarta Timur). Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2004.
19 Patrick DM, Money D. Should Every STD Clinic Patient Be Considered for Typespecific
Serological
Screening for HSV Herpes 2002; 9: 324.
20 Arya OP, Hart CA. Herpes Simplex Virus Infection. In O.P. Arya and C.A. Hart (eds). Sexually Transmit
ted Infections and AIDS in the Tropics. Cabi Publishing, Liverpool, 1998.
21 Butina M R. Genital Herpes. Acta Dermatologica 2000; 9(1).
22 Donovan B. Sexually Transmissible Infections Other Than HIV. Lancet 2004; 363: 54556.
23 Meheus A. Control of STI, HIV and AIDS. In O.P. Arya and C.A. Hart (eds). Sexually Transmitted Infections
and AIDS in the Tropics. Cabi Publishing, Liverpool, 1998.
24 Sexually Transmitted Diseases: policies and principles for prevention and care. World Health
Organization/UNAIDS. WHO/UNAIDS/97.6, 1997.
25 Sedyaningsih ER. Perempuanperempuan
Kramat Tunggak. Seri Kesehatan Reproduksi,
Kebudayaan, dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan – The Ford Foundation; 1999.
26 Thuy NTT, et al. HIV infection and risk factors among female sex workers in southern Viet Nam. AIDS
1998, 12:425432.
27 Taha T, Hoover D, Dallabetta G, et al. Bacterial Vaginosis and Disturbances of Vaginal Flora: Association
with Increase Acquisition of HIV. AIDS 1998; 12:1699705.
28 Minimum standard for FHIIndonesia
sponsored STI Clinic, FHI Indonesia 2002.
29 Subagreement between Family Health International (FHI) and Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia Jayapura, pursuant to United States Agency for International Development (USAID)
Cooperative Agreement award number 497A00000003800.
30 Studi Mengenai Perilaku Seksual Kawula Muda di 4 Kota Besar di Indonesia, Jakarta: DKT Indonesia,
KfW, Bill and Melinda Gates Foundation, Synovate, Sum m er Rosenstock ; 2005.
ISBN : 979-25-3745-7
--
Shigenoi Haruki
Comments
Post a Comment