GLUKOSINOLAT DALAM KUBIS (Brassica oleracea) SEBAGAI ANTIKARSINOGENESIS

GLUKOSINOLAT DALAM KUBIS (Brassica oleracea) SEBAGAI ANTIKARSINOGENESIS













Ditulis dalam Rangka Mengikuti Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Tahun 2009 Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya



Ditulis Oleh
Dewi Sri Wulandari 0610710031




FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2009

LEMBAR PENGESAHAN


Glukosinolat dalam Kubis (Brassica oleracea) sebagai Antikarsinogenesis



Dewi Sri Wulandari
NIM. 0610710031




Mengesahkan,
Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan,



Ir. H. RB. Ainurrasjid. MS
NIP. 130 935 076














KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya penulis bisa menyelesaikan karya tulis berjudul Glukosinolat dalam Kubis (Brassica oleracea) sebagai Antikarsinogenesis ini. Karya tulis ini disusun dalam rangka mengikuti Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Tahun 2009 Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. H. RB. Ainurrasjid. MS selaku Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Brawijaya yang telah memberikan dukungan kepada penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang sudah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam kesempatan ini pula, penulis mengharapkan masukan dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan karya tulis ini. Akhir kata, penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat, baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca.




Penulis


Maret 2009

DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul i
Lembar Pengesahan ii
Kata Pengantar iii
Daftar Isi iv
Daftar Gambar v
Daftar Tabel vi
Ringkasan vii
Bab I Pendahuluan 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan 2
Manfaat 2
Bab II Tinjauan Pustaka 4
Glukosinolat 4
Kubis (Brassica oleracea) 5
Karsinogenesis 7
Bab III Metode Penulisan 11
Sifat penulisan 11
Metode Perumusan Masalah 11
Kerangka Berpikir 11
Metode Pengumpulan Data 11
Metode Analisis dan Pemecahan Masalah 12
Sistematika Penulisan 12
Bab IV Pembahasan 13
Mekanisme Antikarsinogenesis 14
Bab V Kesimpulan dan Saran 20
Kesimpulan 20
Saran 20
Daftar Pustaka 21


DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Rumus Molekul Glukosinolat 4

Gambar 2. Ketika sel normal (A) rusak atau tua (2), mereka mengalami
apoptosis (1); sel kanker (B) menghindari apoptosis dan terus membelah diri 8

Gambar 3. Mekanisme metabolisme karsinogen dengan efek inhibitor
Karsinogenesis 14
























DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Bentuk Enzim Sitokrom 15

Tabel 2. Induksi Enzim Fase II oleh Isotiosianat (ITC) 17




























RINGKASAN

Karsinogenesis merupakan proses transformasi sel normal menjadi sel kanker yang menyebabkan pembelahan sel yang tidak terkendali dan merupakan penyebab kematian kedua terbesar di dunia. Karsinogenesis disebabkan oleh mutasi materi genetik pada sel normal, yang mengganggu keseimbangan antara proliferasi dan kematian sel. Hal ini menyebabkan pembelahan sel yang ridak terkontrol dan evolusi sel-sel tersebut melalui seleksi alam dalam tubuh. Proliferasi sel yang cepat dan tidak terkontrol dapat menimbulkan tumor jinak maupun ganas.
Kubis (Brassica oleracea) adalah tumbuhan sayuran yang dimanfaatkan daunnya untuk dimakan. Kubis (Brassica oleracea) mengandung sejumlah senyawa yang dapat merangsang pembentukan gas dalam lambung sehingga menimbulkan rasa kembung (zat-zat goiterogen). Daun kubis (Brassica oleracea) juga mengandung kelompok glukosinolat yang menyebabkan rasa agak pahit.
Glukosinolat adalah kelas senyawa organik yang mengandung sulfur dan nitrogen serta diturunkan dari glukosa dan asam amino. Glukosinolat merupakan metabolit sekunder hampir seluruh tanaman dalam ordo Brassicales. Glukosinolat dikenal memiliki efek toksik, yaitu goitrogenik, terhadap hewan dan manusia dalam dosis tinggi. Sebaliknya pada dosis subtoksik, produk hidrolisis dan metaboliknya berperan sebagai agen kemoprotektif terhadap karsinogen kimiawi dengan mengeblok inisiasi tumor pada berbagai jaringan tikus, yaitu liver, colon, kelenjar mammae, pankreas, dan lain-lain. Dalam karya tulis ini akan dibahas peranan glukosinolat dalam kubis (Brassica oleracea) sebagai antikarsinogenesis dengan metode studi literatur. Penulisan karya tulis ini bermanfaat sebagai bahan pengembangan penelitian dalam pengobatan kanker, terutama dengan menggunakan konsep herbal.
Glukosinolat memiliki efek antikarsinogenesis melalui induksi enzim fase I dan fase II, menghambat aktivasi enzim, modifikasi metabolisme hormon steroid dan melindungi dari kerusakan oksidatif. Induksi enzim fase I dan fase II memfasilitasi detoksifikasi karsinogen. Beberapa enzim reaksi fase I yang mengaktifkan karsinogen dihambat secara selektif oleh metabolit glukosinolat. Produk kondensasi asam lebih efektif dari senyawa asalnya. Oligomer ini berperan sebagai nukleofil alternatif untuk melawan karsinogen elektrofilik. Metabolit glukosinolat juga menghambat enzim untuk aktivasi AFB1 dan aduksi AFB1–DNA sehingga mencegah karsinogenesis yang disebabkan oleh AFB1. Untuk mencegah aktivasi enzim fase I, enzim fase II saja dapat diinduksi dengan monofunctional induction.
Oleh karena itu, konsep dasar antikarsinogenesis berhubungan dengan peranan kesadaran akan pentingnya kesehatan dengan meningkatkan konsumsi makanan kaya sayuran dan buah-buahan, di antaranya kubis (Brassica oleracea), yang penting dalam keberhasilan aplikasi konsep perlindungan terhadap kanker. Namun demikian masih perlu dilakukan penelitian mengenai efek pemberian kubis (Brassica oleracea) dalam mencegah pertumbuhan kanker pada hewan coba sehingga dapat diketahui batas konsumsi maksimal kubis yang memberikan efek menguntungkan tanpa menimbulkan dampak kesehatan lainnya.


































SUMMARY


Carcinogenesis is a transformation process of a normal cell to a cancer cell that lead to uncontrolable cell dividing and is the second greatest cause of death in the world. Carcinogenesis is caused by a genetic material mutation in normal cell, that disturb the balance between cell proliferation and death. It causes uncontrolable cell dividing and evolution of the cells through natural selection inside the body. The rapid and uncontrolable cell proliferation can lead to benign and malignant tumor.
Cabbage (Brassica oleracea) is a vegetable which leaves can be eaten. Cabbage (Brassica oleracea) contains an amount of compound that can stimulate gas formation inside the stomach and lead to bloating (goitrogenic substances). Cabbage (Brassica oleracea) leaves is also contain the group of glucosinolate that cause bitter taste.
The glucosinolates are a class of organic compounds that contain sulfur and nitrogen and are derived from glucose and an amino acid. They occur as secondary metabolites of almost all plants of the order Brassicales. Glucosinolates are well known for their toxic effects ,mainly as goitrogens, in both humans and animals at high doses. In contrast at subtoxic doses, their hydrolytic and metabolic products act as chemoprotective agents against chemically-induced carcinogens by blocking the initiation of tumors in a variety of rodent tissues, for examples liver, colon, mammary gland, pancreas, etc. This working paper will discussed about the role of glucosinolate in cabbage (Brassica oleracea) as anticarcinogenetic with literature study method. This working paper has benefit as the material to develop research in cancer therapy, especially in herbal concept.
Glucosinolate has anticarcinogenetic effect by inducing Phase I and Phase II enzymes, inhibiting the enzyme activation, modifying the steroid hormone metabolism and protecting against oxidative damages. By inducing Phase I and Phase II enzymes they facilitate in detoxificiation of carcinogens. Some enzymes of Phase I reaction which are shown to activate the carcinogens, are inhibited selectively by glucosinolate metabolites. Acid condensation products are more effective than their parent compounds. These oligomers act as alternative nucleophiles against the electrophilic carcinogen. They also inhibit AFB1-activating enzymes as well as AFB1–DNA adduction and thus prevent carcionogenesis by AFB1. To avoid the activation by Phase I enzyme, only Phase II enzymes can be induced by monofunctional induction.
Thus the basic concept of anticarcinogenesis has an influencive role for health awareness, encouraging the consumption of diet rich in fruits and vegetables, for example cabbage (Brassica oleracea), as well as for further studies which are necessary for successful application of the concept to protect cancer. But it still necessary to conduct study about cabbage (Brassica oleracea) administration effect to prevent cancer growth in experimental animals so we can find out the maximal cabbage (Brassica oleracea) consumption limit to make beneficial effect without other health impact.



BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Karsinogenesis merupakan proses transformasi sel normal menjadi sel kanker (Wikipedia, 2009a). Kanker adalah segolongan penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak terkendali dan memiliki kemampuan untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis) (Wikipedia, 2009c).
Secara keseluruhan, diperkirakan bahwa sekitar 1,3 juta kasus kanker baru akan terjadi pada tahun 2002, dan 555.500 orang akan meninggal akibat kanker di Amerika Serikat. Angka kematian berbagai bentuk neoplasma ganas telah berubah. Yang terutama mencolok adalah peningkatan bermakna angka kematian kanker keseluruhan diantara laki – laki yang terutama disebabkan oleh kanker paru, tetapi angka ini akhirnya mulai menurun. Sebaliknya, angka kematian keseluruhan diantara perempuan sedikit menurun, terutama disebabkan penurunan angka kematian akibat kanker uterus, lambung, dan usus besar. Kecenderungan yang baik ini lebih dari sekedar mengimbangi peningkatan mencolok penderita kanker paru perempuan, yang dahulu merupakan bentuk neoplasma yang jarang pada jenis kelamin ini. Penurunan angka kematian akibat kanker uterus disebabkan oleh pengendalian karsinoma serviks, yang dimungkinkan oleh semakin meluasnya penerapan pemeriksaan apusan serviks untuk deteksi dini karsinoma saat masih dapat disembuhkan. Penyebab penurunan angka kematian akibat kanker usus masih belum jelas, namun terdapat spekulasi tentang berkurangnya pajanan ke karsinogen dalam makanan (Robbins, et al, 2007).
Pembelahan sel merupakan proses fisiologis yang terjadi hampir di seluruh jaringan dan dalam berbagai kondisi. Dalam kondisi normal, keseimbangan antara proliferasi dan kematian sel terprogram, biasanya dalam bentuk apoptosis, diregulasi untuk mempertahankan integritas jaringan dan organ. Karsinogenesis disebabkan oleh mutasi materi genetik pada sel normal, yang mengganggu keseimbangan antara proliferasi dan kematian sel. Hal ini menyebabkan pembelahan sel yang tidak terkontrol dan evolusi sel-sel tersebut melalui seleksi alam dalam tubuh. Proliferasi sel yang cepat dan tidak terkontrol dapat menimbulkan tumor jinak maupun ganas (Fearon dan Vogelstein, 1990).
Kubis (Brassica oleracea) adalah nama yang diberikan untuk tumbuhan sayuran daun yang populer. Tumbuhan dengan nama ilmiah Brassica oleracea L. Kelompok Capitata ini dimanfaatkan daunnya untuk dimakan. Kubis (Brassica oleracea) mengandung sejumlah senyawa yang dapat merangsang pembentukan gas dalam lambung sehingga menimbulkan rasa kembung (zat-zat goiterogen). Daun kubis (Brassica oleracea) juga mengandung kelompok glukosinolat yang menyebabkan rasa agak pahit (Wikipedia, 2009d).
Glukosinolat adalah kelas senyawa organik yang mengandung sulfur dan nitrogen serta diturunkan dari glukosa dan asam amino. Glukosinolat merupakan metabolit sekunder hampir seluruh tanaman dalam ordo Brassicales (Bones and Rossiter, 1996). Glukosinolat dikenal memiliki efek toksik, yaitu goitrogenik, terhadap hewan dan manusia dalam dosis tinggi. Sebaliknya pada dosis subtoksik, produk hidrolisis dan metaboliknya berperan sebagai agen kemoprotektif terhadap karsinogen kimiawi dengan mengeblok inisiasi tumor pada berbagai jaringan tikus, yaitu liver, colon, kelenjar mammae, pankreas, dan lain-lain. Glukosinolat memiliki efek tersebut melalui induksi enzim fase I dan fase II, menghambat aktivasi enzim, modifikasi metabolisme hormon steroid dan melindungi dari kerusakan oksidatif (Das, et al, 2000).
Oleh karena pentingnya pengembangan pengobatan kanker menggunakan konsep herbal, diperlukan pembahasan yang lebih rinci mengenai peranan glukosinolat dalam kubis (Brassica oleracea) sebagai antikarsinogenesis. Diharapkan makalah ini dapat memberikan solusi bagi tantangan dalam pengobatan kanker.
Rumusan Masalah
Bagaimana peranan glukosinolat dalam kubis (Brassica oleracea) sebagai antikarsinogenesis?
Tujuan
Mengetahui peranan glukosinolat dalam kubis (Brassica oleracea) sebagai antikarsinogenesis.
Manfaat
1. Sebagai bahan pengembangan penelitian dalam bidang pengobatan herbal.
2. Sebagai bahan pengembangan penelitian dalam pengobatan kanker.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Glukosinolat
Deskripsi
Glukosinolat merupakan kelas senyawa organik yang mengandung sulfur dan nitrogen serta diturunkan dari glukosa dan asam amino (Bones dan Rossiter, 1996). Glukosinolat kristalin pertama, sinalbin, diisolasi dari biji mostar putih pada 1831. Sejak saat itu, lebih dari 100 glukosinolat yang berbeda ditemukan. Glukosinolat terdapat pada tanaman ordo Capparales, terutama famili Cruciferae, Resedaceae and Capparidaceae (Das, et al, 2000).

Gambar 1. Rumus Molekul Glukosinolat (Wikipedia, 2009b).
Glukosinolat adalah anion yang larut dalam air dan termasuk golongan glikosida. Molekul glukosinolat memiliki atom karbon sentral yang terikat melalui atom sulfur ke gugus tioglukosa dan melalui atom nitrogen ke gugus sulfat. Di samping itu, karbon sentral juga terikat ke gugus samping. Glukosinolat yang berbeda memiliki gugus samping yang berbeda. Variasi gugus samping ini menyebabkan variasi aktivitas biologis pada senyawa ini (Wikipedia, 2009b).
Asam amino berperan sebagai prekursor biosintesis glukosinolat pada tanaman. Fenilalanin dan tirosin menghasilkan benzil glukosinolat dan parahidroksibenzil glukosinolat. Indol glukosinolat dihasilkan dari D,L-triptofan. Glukosinolat tidak begitu berbahaya, namun glukosinolat dapat dihidrolisis menjadi berbagai produk toksik oleh enzim mirosinase. Glukosinolat dan mirosinase terdapat dalam tanaman utuh pada kompartemen yang terpisah, namun apabila struktur sel rusak, akan terjadi kontak di antara keduanya. Kemudian, mirosinase menghidrolisis glukosinolat menjadi glukosa dan senyawa aglukon, yang dapat mengalami berbagai proses, menghasilkan isotiosianat, tiosianat, nitrit, atau produk lainnya seperti goitrin yang sangat berbahaya. Di sisi lain, beberapa metabolit glukosinolat memiliki efek protektif terhadap karsinogenesis (Das, et al, 2000).
Distribusi
Glukosinolat merupakan metabolit sekunder hampir seluruh tanaman ordo Brassicales (termasuk famili Brassicaceae, Capparidaceae dan Caricaceae), serta genus Drypetes (famili Euphorbiaceae). Tanaman menggunakan zat-zat yang diturunkan dari glukosinolat sebagai pestisida alami dan pertahanan terhadap herbivora. Zat-zat ini menyebabkan rasa pahit pada berbagai makanan, seperti mostar, lobak, horseradish, maca, seledri, kubis (Brassica oleracea), Brussels sprouts, kohlrabi, kale, kol, brokoli, lobak cina, swede dan rapeseed (Wikipedia, 2009b).
Konsentrasi glukosinolat dalam tanaman tergantung pada berbagai faktor seperti variasi, kondisi lahan, iklim, dan praktek agronomis. Konsentrasinya pada tanaman tertentu juga bervariasi antara berbagai bagian tanaman (Das, et al, 2000).
Kegunaan
Banyak penelitian telah dilaksanakan untuk mengetahui efek toksik glukosinolat pada hewan. Konsumsi makanan yang mengandung glukosinolat dalam jumlah besar dapat mengurangi intake makanan, menyebabkan hipertrofi kelenjar tiroid dan mengurangi level hormone tiroid yang bersirkulasi, terutama dengan menghambat uptake iodine oleh kelenjar tiroid. Beberapa efeknya dapat mempengaruhi produktivitas hewan ternak. Unggas dan babi lebih rentan daripada sapi, domba, dan kambing karena sapi, domba, dan kambing dapat mendetoksifikasi produk hidrolisis glukosinolat (Das, et al, 2000).
Berbagai penelitian menyatakan bahwa glukosinolat dapat berperan sebagai inhibitor poten efek toksik dan neoplastik dari berbagai karsinogen kimia. Dalam bidang ini, penelitian terutama dilakukan pada hewan coba untuk mengetahui mekanisme kerjanya secara mendetail sehingga pengetahuan ini dapat diaplikasikan dalam pencegahan kanker pada manusia (Das, et al, 2000).
Kubis (Brassica oleracea)
Deskripsi
Kubis (Brassica oleracea) adalah nama yang diberikan untuk tumbuhan sayuran daun yang populer. Tumbuhan dengan nama ilmiah Brassica oleracea L. Kelompok Capitata ini dimanfaatkan daunnya untuk dimakan. Daun ini tersusun sangat rapat membentuk bulatan atau bulatan pipih, yang disebut krop atau kepala (capitata berarti "berkepala"). Kubis (Brassica oleracea) berasal dari Eropa Selatan dan Eropa Barat dan, walaupun tidak ada bukti tertulis atau peninggalan arkeologi yang kuat, dianggap sebagai hasil pemuliaan terhadap kubis (Brassica oleracea) liar B. oleracea var. sylvestris (Wikipedia, 2009d).
Warna sayuran ini yang umum adalah hijau sangat pucat sehingga disebut forma alba ("putih"). Namun demikian terdapat pula kubis (Brassica oleracea) dengan warna hijau (forma viridis) dan ungu kemerahan (forma rubra). Dari bentuk kropnya dikenal ada dua macam kubis (Brassica oleracea): kol bulat dan kol gepeng (bulat agak pipih). Perdagangan komoditi kubis (Brassica oleracea) di Indonesia membedakan dua bentuk ini. Terdapat jenis agak khas dari kubis (Brassica oleracea), yang dikenal sebagai Kelompok Sabauda, yang dalam perdagangan dikenal sebagai kubis (Brassica oleracea) Savoy. Kelompok ini juga dapat dimasukkan dalam Capitata (Wikipedia, 2009d).
Kandungan
Kubis (Brassica oleracea) segar mengandung banyak vitamin (A, beberapa B, C, dan E). Kandungan Vitamin C cukup tinggi untuk mencegah skorbut. Mineral yang banyak dikandung adalah kalium, kalsium, fosfor, natrium, dan besi. Kubis (Brassica oleracea) segar juga mengandung sejumlah senyawa yang merangsang pembentukan glutation, zat yang diperlukan untuk menonaktifkan zat beracun dalam tubuh manusia (Wikipedia, 2009d).
Sebagaimana suku kubis (Brassica oleracea)-kubis (Brassica oleracea)an lain, kubis (Brassica oleracea) mengandung sejumlah senyawa yang dapat merangsang pembentukan gas dalam lambung sehingga menimbulkan rasa kembung (zat-zat goiterogen). Daun kubis (Brassica oleracea) juga mengandung kelompok glukosinolat yang menyebabkan rasa agak pahit (Wikipedia, 2009d).
Pengolahan
Kubis (Brassica oleracea) dapat dimakan segar sebagai lalapan maupun diolah. Sebagai lalapan, kubis (Brassica oleracea) yang dilengkapi sambal biasa meyertai menu gorengan atau bakar seperti ayam atau lele. Kubis (Brassica oleracea) diolah untuk membuat orak-arik atau capcay. Daun kubis (Brassica oleracea) yang direbus menjadi lunak, tipis, dan transparan. Perebusan ini dapat dijumpi dalam berbagai sup dan sayur. Di Korea kubis (Brassica oleracea) menjadi komponen utama masakan khas bangsa ini, kimchi. Jerman terkenal dengan sauerkraut, kubis (Brassica oleracea) yang dipotong-potong kecil dan diawetkan dalam cuka (Wikipedia, 2009d).
Karsinogenesis
Definisi
Karsinogenesis merupakan proses transformasi sel normal menjadi sel kanker. Karsinogenesis disebabkan oleh mutasi materi genetik pada sel normal, yang mengganggu keseimbangan antara proliferasi dan kematian sel. Hal ini menyebabkan pembelahan sel yang tidak terkontrol dan evolusi sel-sel tersebut melalui seleksi alam dalam tubuh. Proliferasi sel yang cepat dan tidak terkontrol dapat menimbulkan tumor jinak maupun ganas. Tumor jinak tidak mengalami metastasis ke bagian tubuh lainnya atau menginvasi jaringan sehingga jarang mengancam jiwa, kecuali tumor tersebut menekan struktur vital atau aktif secara fisiologis, misalnya memproduksi hormon. Tumor ganas dapat menginvasi organ lain, mengalami metastasis jauh, dan mengancam jiwa (Fearon dan Vogelstein, 1990).

Gambar 2. Ketika sel normal (A) rusak atau tua (2), mereka mengalami apoptosis (1); sel kanker (B) menghindari apoptosis dan terus membelah diri (Wikipedia, 2009a).
Lebih dari satu mutasi yang diperlukan dalam karsinogenesis. Faktanya, serangkaian mutasi pada gen-gen tertentu diperlukan sebelum sel normal mengalami transformasi menjadi sel kanker. Hanya mutasi pada gen-gen tertentu yang berperan dalam pembelahan sel, apoptosis, dan perbaikan DNA yang akan menyebabkan hilangnya kontrol terhadap proliferasi sel (Fearon dan Vogelstein, 1990).
Mekanisme
Kanker adalah penyakit genetik. Proliferasi sel yang tidak terkontrol disebabkan oleh kerusakan gen pengatur pertumbuhan. Protoonkogen adalah gen yang merangsang pertumbuhan sel dan mitosis, sementara tumor supresor gen menghambat pertumbuhan sel, atau menghambat pembelahan sel sementara untuk melakukan perbaikan DNA. Seraangkaian mutasi pada gen-gen tersebut diperlukan sebelum sel normal mengalami transformasi menjadi sel kanker (Vlahopoulos, et al, 2008).
Protoonkogen merangsang pertumbuhan sel melalui berbagai cara. Banyak protoonkogen yang dapat memproduksi hormon, sebuah "chemical messengers" antarsel yang merangsang mitosis, yang efeknya tergantung transduksi sinyal pada sel penerima. Beberapa protoonkogen berkaitan dengan sistem transduksi sinyal dan reseptor di sel dan jaringan sehingga dapat mengontrol sensitivitas terhadap hormon tertentu. Protoonkogen juga sering menghasilkan mitogen, atau terlibat dalam transkripsi DNA pada sintesis protein, yang menghasilkan berbagai protein dan enzim yang penting dalam metabolisme sel (Vlahopoulos, et al, 2008).
Mutasi pada protoonkogen dapat memodifikasi ekspresi dan fungsinya, meningkatkan jumlah atau aktivitas produk protein. Ketika hal ini terjadi, protoonkogen berubah menjadi onkogen sehingga sel memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk membelah berlebihan dan tidak terkontrol. Kemungkinan terjadinya kanker tidak dapat dikurangi dengan memindahkan protoonkogen dari genom karena protoonkogen penting untuk pertumbuhan, perbaikan, dan homeostasis tubuh. Hanya ketika terjadi mutasi protoonkogen, sinyal pertumbuhan menjadi berlebihan. Gen yang berperan dalam merangsang pertumbuhan dapat meningkatkan potensi karsinogenik sebuah sel di bawah kondisi yang memungkinkan mekanisme seluler untuk pertumbuhan sel. Kondisi ini termasuk inaktivasi tumor supresor gen spesifik. Apabila kondisi ini tidak terpenuhi, sel akan berhenti tumbuh dan mati (Vlahopoulos, et al, 2008).
Tumor supresor gen mengkode sinyal antiproliferasi dan protein yang menekan mitosis dan pertumbuhan sel. Secara umum, tumor supresor adalah faktor transkripsi yang diaktivasi oleh stres seluler atau kerusakan DNA. Seringkali kerusakan DNA menimbulkan materi genetik bebas yang akan merangsang enzim dan jalur yang mengarah pada tumor supresor gen. Fungsi gen ini adalah menghambat progresi siklus sel untuk melaksanakan perbaikan DNA, mencegah mutasi diwariskan pada keturunannya. Tumor supresor gen termasuk gen p53, yang merupakan faktor transkripsi yang diaktivasi oleh berbagai stres seluler termasuk hipoksia dan kerusakan akibat radiasi ultraviolet (Vlahopoulos, et al, 2008).
Namun mutasi dapat merusak tumor supresor gen itu sendiri, atau jalur sinyal yang mengaktifkannya, sehingga membuat gen tersebut tidak aktif. Konsekuensinya, perbaikan DNA tidak terjadi sehingga kerusakan DNA terakumulasi tanpa perbaikan dan menimbulkan kanker (Vlahopoulos, et al, 2008).


BAB III
METODE PENULISAN

Sifat Penulisan
Karya tulis ilmiah ini bersifat kajian pustaka yang menjelaskan tentang peranan glukosinolat dalam kubis (Brassica oleracea) sebagai antikarsinogenesis.
Metode Perumusan Masalah
Perumusan masalah disusun berdasarkan kurangnya pemanfaatan glukosinolat dalam kubis (Brassica oleracea) yang selama ini hanya dikenal dengan efek goitrogeniknya. Ruang lingkup permasalahan terletak pada mekanisme glukosinolat dalam menghambat pertumbuhan sel kanker.
Kerangka Berpikir











Keterangan: merangsang
menghambat
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi pustaka (literature review) berdasarkan permasalahn baik informasi digital maupun non digital dari sumber pustaka sebagai berikut:
1. Jurnal-jurnal kesehatan
2. Buku ajar atau referensi pustaka
3. Informasi internet
Metode Analisis dan Pemecahan Masalah
Metode analisis data pustaka dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu:
1. Metode eksposisi, yaitu dengan memaparkan data dan fakta yang ada dan mencari korelasi antara data tersebut.
2. Metode analitif, yaitu melalui proses analisis data atau informasi dengan memberikan argumentasi melalui berpikir logis kemudian diambil suatu kesimpulan.
Sistematika Penulisan
Karya tulis ini disusun berdasarkan kaidah karya tulis yang telah ditetapkan, yaitu sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab II Tinjauan Pustaka
Bab III Metodologi Penulisan
Bab IV Pembahasan
Bab V Kesimpulan dan Saran

BAB IV
PEMBAHASAN

Senyawa asing, misalnya bahan toksik, karsinogen, dan sebagainya, setelah memasuki tubuh akan dimetabolisme. Keseluruhan metabolisme senyawa asing menghasilkan zat kimia yang dapat diekskresikan. Terdapat dua kelas system enzim untuk metabolisme senyawa xenobiotik menjadi metabolit yang dapat diekskresikan, yaitu reaksi fase I dan fase II. Kadang-kadang senyawa asing ini menyebabkan pembentukan tumor. Bentuk ganas dari tumor disebut kanker (William, 1978).
Karsinogenesis merupakan proses multistadium yang paling sedikit meliputi tiga fase, yaitu inisiasi, promosi, dan progresi. Inisiasi merupakan proses genetik yang terdiri dari dua fase, yaitu induksi lesi molekuler dan fiksasi lesi tersebut melalui replikasi DNA. Bentuk akhir karsinogenik dan karsinogen adalah elektrofilik bermuatan yang sangat reaktif terhadap molekul DNA. Molekul ini berikatan secara kovalen dengan DNA. Beberapa macam modifikasi DNA merupakan faktor pendorong utama untuk perkembangan kanker (Das, et al, 2000).
Kemampuan karsinogen menimbulkan efek itu sangat tergantung pada keseimbangan antara enzim yang teraktivasi. Setiap perubahan keseimbangan ini akan meenyebabkan perubahan efek biologis (Miller, 1978). Beberapa karsinogen yang disebut ‘direct acting’ berbentuk elektrofil atau berubah menjadi elektrofil dalam larutan. Karsinogen lainnya memerlukan aktivasi metabolik dalam menjalankan aksinya (Gambar 3).

Gambar 3. Mekanisme metabolisme karsinogen dengan efek inhibitor karsinogenesis (Das, et al, 2000).
Mekanisme Antikarsinogenesis
Mekanisme antikarsinogenesis produk hidrolisis glukosinolat meliputi induksi enzim fase I, hambatan aktivasi enzim, induksi enzim fase II, modifikasi pengikatan hormone steroid, penangkapan elektrofil dan perlindungan terhadap kerusakan oksidatif. Bahan kimia yang diturunkan dari glukosinolat yaitu indole-3-carbinol (I3C), indole-3-acetonitrile (I3A), diindolyl methane (DIM), ascorbigen (ASC), nitrile, 1-cyano-2-hydroxy-3-butane (Crambene), 1-isothiocyanato-3-(methyl sulfinyl)-propane (IBN atau Iberin), phenyl ethyl isothiocyanate (PEITC), 1-isothiocyanato-4-(methyl sulfinyl) butane (Sulforaphane), 1-isothiocyanto-4-(methyl sulfonyl) butane (Erysolin), dan lain-lain (Das, et al, 2000).
Induksi Enzim Fase I
Reaksi fase I meliputi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis sehingga menyebabkan xenobiotik lebih polar. Enzim fase I yang paling penting adalah enzim sitokrom P450 (mixed function oxidase system atau MFO system). Sitokrom P450 merupakan sitokrom tipe b yang mengikat karbon a. Kompleks sitokrom-karbon monoksida tereduksi memiliki puncak absorpsi monoksid 450 nm (Das, et al, 2000).
Mekanisme MFO system adalah mereaksikan toksikan dengan sitokrom P450 teroksidasi, menghasilkan kompleks yang lebih tereduksi dengan mengambil hidrogen dari flavoprotein tereduksi, menghasilkan flavoprotein teroksidasi. Kompleks tereduksi ini kemudian bereaksi dengan molekul oksigen untuk memproduksi air, reoksidasi sitokrom P450, hidroksilasi toksikan yang kemudian mengalami reaksi fase II dan diekskresikan sebagai metabolit yang larut dalam air (Cheeke an Shull, 1985).
Enzim sitokrom P450 merupakan produk dari superfamili gen sitokrom P450. Sekitar 100 gen sitokrom P450 mamalia telah dikloning dan dipelajari (Nelson, et al, 1993). Enzim sitokrom P450 berperan penting dalam aktivasi karsinogen, biotransformasi berbagai senyawa endogen penting dan detoksifikasi berbagai xenobiotik.
Tabel 1. Bentuk Enzim Sitokrom (Das, et al, 2000).

Sebuah penelitian melaporkan I3C sebagai agen karsinogenik karena selama induksi enzim sitokrom P450, I3C juga menginduksi enzim lain yang menimbulkan efek aktivasi karsinogen bersama bentuk detoksifikan lainnya (Pence, et al, 1986). Yang et al. melaporkan bahwa bahan kimia tertentu dari makanan dapat menghambat aktivitas enzim P450 secara selektif sehingga memberikan kesempatan inhibisi selektif karsinogenisitas atau toksisitas bahan kimia yang diketahui dengan inhibitor spesifik enzim sitokrom P450 (Yang, et al, 1992). Glukosinolat menginduksi sitokrom P450 sehingga membantu ekskresi karsinogen.
Hambatan Aktivasi Enzim
Sebagian besat karsinogen kimia memerlukan aktivasi metabolik sebelum menunjukkan efek karsinogenik. Sitokrom P450-1A2 mengakatalisis aktivasi aril amin karsinogenik dan aflatoxin B1 (AFB1), sementara peranan Sitokrom P450-1A1 belum jelas (Guo, et al, 1992). Morse et al. melaporkan bahwa NNK [4-methylnitrosamino-1-(3-Pyridyl)-1-butanone, karsinogen tembakau yang sangat poten, menginduksi tumorigenesis paru, PEITC (Phenethyl ITC) hanya efeektif apabila diberikan selama NNK karena PEITC menghambat aktivasi NNK (Morse, et al, 1989).
Dalam studi lainnya, Takahashi et al. menggunakan b-naphthoflavone (BNF), yang merupakan agonis reseptor Ah dan inducer kuat sitokrom P450-1A. ditemukan bahwa pre-feeding I3C atau co-feeding I3C deengan dosis BNF tidal jenuh (50 ppm) menekan kemampuan induksi BNF. Dari hasil ini, diketahui bahwa I3C atau senyawa turunan I3C merupakan inhibitor aktivasi enzim (Takahashi, et al, 1995). Dalam sebuah penelitian dilaporkan bahwa I3C bukan inducer efektif aktivitas AFB1-9a-hydroxylase yang dimediasi sitokrom P450-1A (Bradfield, et al, 1987). Sementara reaksi campuran I3C dalam HCl untuk merangsang senyawa yang dihasilkan pada kondisi pH rendah di lambung meenghambat pengikatan AFB1–DNA in vitro (Fong, et al, 1990).
Inhibisi aktivasi AFB1 oleh enzim 3,3-diindolylmethane (DIM), derivat utama I3C dalam pH rendah yang ditemukan di liver telah dilaporkan Dashwood et al (Dashwood, et al, 1989). Takahashi et al. telah menunjukkan dalam pemeriksaan Salmonella pada liver bahwa system aktivasi DIM memiliki efek inhibisi terhadap mutagenisitas AFB1 (Takahashi et al, 1995). DIM yang diinjeksikan bersama AFB1 ke embrio hewan coba menghambat pengikatan AFB1–DNA in vivo dan kejadian tumor, namun tidak demikian dengan I3C (Dashwood, et al, 1994). Oligomer ini berperan sebagai nukleofil alternative terhadap toksikan elektrofilik (Shertzer, et al, 1988).
Induksi Enzim Fase II
Seperti yang ditunjukkan dalam gamabr 3, efek antikarsinogenik produk hidrolisis glukosinolat dapat dimediasi oleh induksi enzim fase II seperti glucoronosyl transferase (GT), glutathione S-transferase (GST) dan quinone reductase (QR). Induksi enzim fase II merupakan karakteristik umum banyak kemoprotektan dan terdapat bukti kuat bahwa induksi fase II sebelum dan selama paparan ke karsinogen dapat menghambat karsinogenesis (Wattenberg, 1985). Pemberian ITC pada tikus menunjukkan respon perlawanan terhadap elektrofil, ditandai dengan induksi enzim fase II dan peningkatan kadar glutation (GSH) jaringan (Prestera, et al, 1993).
Paparan kultur sel dan jaringan hewan terhadap ITC menyebabkan induksi terkoordinasi enzim fase II (March, et al, 1995). Crembene merupakan inducer poten GSH pancreas dan hepar pada dosis 30 mg/kg/hari selama 6 hari (Wallig, et al, 1992). Crembene juga menginduksi GST pancreas pada dosis subtoksik 50–100 mg/kg/hari selama 7 hari (March, et al, 1995). Pada dosis ini, crembene juga menginduksi enzim fase II hepar, GST and QR, tanpa memberikan efek pada aktivitas sitokrom P450 (Kingston, et al, 1995). Wallig et al. telah menunjukkan bahwa crambene memiliki efek toksik terhadap pancreas pada dosis 200 mg/kg (Wallig, et al, 1988).
Induksi enzim fase II tanpa disertai induksi enzim fase I disebut monofuntional induction yang dapat mengurangi kemungkinan produk bioaktif sitokrom P450 menyerang DNA serta menyebabkan mutasi dan kanker (Prochaska dan Talalay, 1988). Benzyl ITC dapat meningkatkan aktivitas GST, NADP (H): Quinone Oxidoreductase and UDP Glucoronosyl transferase (Guo, et al, 1993). Konsumsi benzyl ITC meningkatkan kadar GSH dan subunit-2 glutathione S-transferase (Vos, et al, 1988). Induksi GST juga ditunjukkan oleh produk hidrolisis glukosinolat yaitu allyl ITC (Bogaards, et al, 1990).
Tabel 2. Induksi Enzim Fase II oleh Isotiosianat (ITC) (Das, et al, 2000).

Glutathione S-transferase telah dipelajari sebagai enzim detoksifikasi utama yang mengakatalisis pengikatan berbagai elektrofil ke gugus sulfhidril pada GSH (Chasseaud, 1979). Karena bentuk karsinogenik reaktif karsinogen kimia adalah elektrofil, GST penting dalam mekanisme detoksifikasi karsinogen. Zhang dan Talalay menemukan bahwa potensi inducer ITC berhubungan dengan kadar sel Hepa 1c1c7 yang terakumulasi. GSH memodulasi potensi ITC sebagai inducer enzim fase II, misalnya penurunan kadar sel Hepa 1c1c7 meningkatkan potensi inducer ITC yang dapat mengalami konjugasi dengan GSH secara enzimatik dan non enzimatik. Konjugasi GSH dengan ITC memepengaruhi konsentrasi akumulasinya dalam sel (Zhang dan Talalay, 1998).
Penangkapan Elektrofil
Produk hidrolisis glukosinolat mampu menangkap elektrofil (Das, et al, 2000).
Modifikasi Metabolisme Hormon Steroid
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa estrogen dimetabolisme oleh isoenzim spesifik P450. Induksi sitokrom P450 tergantung I3C mempengaruhi efek estrogen 2-hydroxylase (Bradlow, et al, 1991). Karena pembentukan metabolit estrogen yang berbeda berhubungan dengan kanker payudara dan uterus, penggunaan I3C pada wanita memiliki efek menguntungkan melalui modifikasi metabolisme estrogen. I3C merupakan agen preventif yang sangat berguna untuk kanker yang berkaitan dengan hormon (Michnovicz dan Bradlow, 1994).
Perlindungan dari Kerusakan Oksidatif
Produk pemecahan glukosinolat menginduksi pertahanan antioksidan endogen seperti UDP glucuronosyl transferase pada sel dan in vivo. Plumb et al. mempelajari karakteristik penangkapan radikal bebas oleh ekstrak dan glukosinolat murni dari tanaman Cruciferae dan menyatakan bahwa glukosinolat tidak memiliki efek antioksidan langsung (Plumb et al, 1996).

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Produk hidrolisis dan metabolik glukosinolat terbukti memiliki efek kemoprotektif terhadap karsinogen kimia dengan mengeblok inisiasi pada berbagai jaringan, diantaranya liver, colon, kelenjar mammae, pankreas, dan lain-lain. Efek tersebut disebabkan oleh induksi enzim fase I dan fase II, hambatan aktivasi enzim, modifikasi metabolisme hormon steroid, dan perlindungan terhadap kerusakan oksidatif.
Induksi enzim fase I dan fase II memfasilitasi detoksifikasi karsinogen. Beberapa enzim reaksi fase I yang mengaktifkan karsinogen dihambat secara selektif oleh metabolit glukosinolat. Produk kondensasi asam lebih efektif dari senyawa asalnya. Oligomer ini berperan sebagai nukleofil alternatif untuk melawan karsinogen elektrofilik. Metabolit glukosinolat juga menghambat enzim untuk aktivasi AFB1 dan aduksi AFB1–DNA sehingga mencegah karsinogenesis yang disebabkan oleh AFB1. Untuk mencegah aktivasi enzim fase I, enzim fase II saja dapat diinduksi dengan monofunctional induction.
Oleh karena itu, konsep dasar antikarsinogenesis berhubungan dengan peranan kesadaran akan pentingnya kesehatan dengan meningkatkan konsumsi makanan kaya sayuran dan buah-buahan, di antaranya kubis (Brassica oleracea), yang penting dalam keberhasilan aplikasi konsep perlindungan terhadap kanker.
Saran
Perlu dilakukan penelitian mengenai efek pemberian kubis (Brassica oleracea) dalam mencegah pertumbuhan kanker pada hewan coba sehingga dapat diketahui batas konsumsi maksimal kubis yang memberikan efek menguntungkan tanpa menimbulkan dampak kesehatan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Bogaards, J. J. P., van Ommen, B., Falke, H. E., Willems, M. I. and van Blanderen, P. J. 1990. Food Chem. Toxicol. Vol 28: 81–88.
Bones, A.M., Rossiter, J.T. 1996. The myrosinase-glucosinolate system - an innate defense system in plants. Physiologia plantarum 97 (1): 194-208.
Bradfield, C. A. and Bjeldanes, L. F. 1987. J. Toxicol. Environ.Health. Vol 21: 311–323.
Bradlow, H. L., Michnovicz, J. J., Telang, N. T. and Osbourne, M. P. 1991. Carcinogenesis. Vol 12: 1571–1574.
Chasseaud, L. F. 1979. Adv. Cancer Res. Vol 29: 175–274.
Cheeke, P. R. and Shull, L. R., 1985. Natural Toxicants in Feeds and Poisonous Plants. West Port: AVI Publishing Company Inc. p. 55.
Das, S., Tyagi, A.K., Kaur, H. 2000. Cancer modulation by glucosinolates: A review. Current Science 79 (12): 1665-1671.
Dashwood, R. H., Fong, A. T., Arbogast, D. N., Bjeldanes, L.F., Hendricks, J. D. and Bailey, G. S. 1994. Cancer Res. Vol 54: 3617–3619.
Dashwood, R. H., Uyetake, L., Fong, A. T., Hendricks, J. D. and Bailey, G. S. 1989. Food Chem. Toxicol. Vol 27: 385–392.
Fearon, E.R., Vogelstein, B. 1990. A genetic model for colorectal tumorigenesis. Cell 61 (5): 759–67.
Fong, A. T., Swanson, H. I., Dashwood, R. H., Williams, D. E., Hendricks, J. D. and Bailey, G. S. 1990. Biochem. Pharmacol. Vol 39: 19–26.
Guo, Z., Smith, T. J., Wang, E., Eklind, K. I., Chung, E. L. and Yang, C. S. 1993. Carcinogenesis (London). Vol 14: 1167–1173.
Guo, Z., Smith, T. J., Wang, E., Sadrieh, N., Ma, Q., Thomas, P.and Yang, C. S. 1992. Carcinogenesis (London). Vol 13: 2205–2210.
Kingston, S., Staack, R., March, T., Walling, M. and Jeffery, E. 1995. Toxicologist. Vol 15: 265 (A 1418).
March, T., Jeffery, E. and Wallig, M. 1995. Toxicologist. Vol 15: 264 (A1413).
Michnovicz, J. J. and Bradlow, H. L. 1990. J. Natl. Cancer Inst. Vol 82: 947–949.
Miller, E. C. 1978. Cancer Research. vol 38: 1479–1496.
Morse, M. A., Amin, S. G., Hecht, S. S. and Chung, F. L. 1989. Cancer Res. Vol 49: 2894–2897.
Nelson, D. R., Kamataki, T., Waxman, D. J., Guengerich, F. P.,Estabrook, R. W., Feyereisen, R., Gonzalez, F. J., Coon., M. J., Gunsalus, I. C., Gotoh, O., Okuda, R. and Nebert, D. W. O. 1993. DNA Cell Biology. vol 12: 1–51.
Pence, B. C., Buddingh, F. and Yang, P. S. 1986. Journal of National Cancer Insitution. vol 77: 269–276.
Plumb, G. W., Lambert, N., Chambers, S. J., Wanigatunga, S., Heaney, R. K., Plumb, J. A., Aruoma, O. I., Halliwell, B., Miller, N. J. and Williamson, G. 1996. Free Radical Res. (Abstr.). Vol 25: 75–86.
Prestera, T., Zhang, Y., Spencer, S. R., Wilczak, C. and Talalay, P. 1993. Adv. Enzyme Regul. Vol 33: 281–296.
Prochaska, H. J. and Talalay, P. 1988. Cancer Res. Vol 48: 4776–4782.
Robbins, S.L., Kumar, V., Cotran, R.S. 2007. Buku Ajar Patologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 196.
Shertzer, H. G., Berger, M. L. and Tabor, M. W. 1988. Biochem.Pharmacol. Vol 37: 333–338.
Takahashi, N., Dashwood, R. H., Bjeldanes, L. F., Williams, D.E. and Bailey, G. S. 1995. Food Chem. Toxicol. Vol 33: 851–857.
Vlahopoulos, S.A., Logotheti, S., Mikas, D., Giarika, A., Gorgoulis, V., Zoumpourlis, V. 2008. The role of ATF-2 in oncogenesis. Bioessays 30(4): 314-27.
Vos, R. M. E., Snoek, M. C., van Berkel, W. J. H., Muller, F. and van Bladeren, P. J. 1988. Biochem. Pharmacol. Vol 37: 1077–1082.
Wallig, M. A., Gould, D. H. and Fettman, M. J. 1988. Food Chem.Toxicol. Vol 26: 137–147.
Wallig, M. A., Kore, A. M., Crawshaw, J. and Jeffery, E. H. 1992. Fundamental Appl. Toxicol. Vol 19: 598–606.
Wattenberg, L. W. 1985. Cancer Res. Vol 45: 1–8.
Wikipedia, 2009d. Kubis. (Online) (http://id.wikipedia.org/wiki/Kubis, diakses 20 Maret 2009).
Wikipedia. 2009a. Carcinogenesis. (Online) (http://en.wikipedia.org/wiki/Carcinogenesis, diakses 20 Maret 2009).
Wikipedia. 2009b. Glucosinolate. (Online) (http://en.wikipedia.org/wiki/Glucosinolate , diakses 20 Maret 2009).
Wikipedia. 2009c. Kanker. (Online) (http://id.wikipedia.org/wiki/Kanker, diakses 20 Maret 2009).
Williams, R. T. 1971. Handbook of Experimental Pharmacology. 28th ed. Berlin: Springer-Verlag. p 226–249.
Yang, C. S., Brady, J. F. and Hong, J. Y. 1992. FASEB Journal. vol 6:737–744.
Zhang, Y. and Talalay, P. 1998. Cancer Res. Vol 58: 4632–4639.

Comments

Popular Posts